Underprivileged Gen Z di Calon Ibukota: Kerja Serabutan, Menumpuk Cicilan, dan Terancam Penggusuran

Ronna Nirmala
24 menit
Stanley berjalan kaki menuju komplek "Perumahan Jokowi" di kawasan Trunen. Saskia, istri Stanley, mendapatkan rumah karena ia orang lokal yang tidak memiliki rumah. Ketika berkunjung, Stanley memilih untuk jalan kaki karena jalan tanah yang becek dan liat setelah hujan malam harinya. (Project M/Adrian Mulya)

Berani, bertanggung jawab, dan tak gentar bayar tunggakan demi hidup baru yang lebih baik bukan mental semua anak muda.


STANLEY (26) punya tampilan berbeda dari mayoritas warga di Sepaku, Kalimantan Timur. Rambutnya cepak, berwarna pirang, cerminan jiwa muda dan bekas-bekas pengaruh kehidupan urban yang pernah ia lakoni.

Sebelum pirang, rambut Stanley berwarna perak. Proses pewarnaannya enam jam, bleaching menjadi putih dulu, lalu ditimpa warna yang dituju. Meski puas dengan hasilnya, ia sering diledek kawan-kawannya.

Kenapa itu rambutnya? Kena asap fogging?” Stanley mengulangi kata-kata sesama kawan kerjanya.

“Malu juga diledekin,” katanya. Sejak itu, Stanley sering menutup rambutnya dengan topi.

Stanley sedang menebas tanaman-tanaman liar yang menutup jalan setapak di depan rumah tipe 36 milik istrinya, Saskia. Rumah itu konon pemberian pemerintah untuk orang-orang lokal yang tidak punya tanah. Serah terima kunci terjadi pada 2021.

Saskia dan warga setempat menyebut rumah-rumah pemberian sebagai “Perumahan Jokowi”. Ada sekitar 30 rumah dengan dinding berwarna kuning di kompleks tersebut.

Kendati dapat jatah rumah, Saskia dan Stanley belum punya rencana untuk pindah. Pasalnya, akses menuju perumahan harus melalui turunan terjal mengarah ke empang, lalu melewati kawasan perumahan pertama yang terbuat dari papan GRC. Dari situ, mereka masih harus melalui turunan kedua dan mendaki tanjakan terjal.

Jalanan turunan dan tanjakan masih berupa tanah, belum ada konblok atau diaspal. Ketika hujan, air empang merembes ke jalanan. Akibatnya tanah berlumpur, banjir menggenangi kawasan perumahan pertama, dan menutup akses menuju rumah mereka.

Hari itu, Stanley dan Saskia menyempatkan waktu untuk menengok rumah pemberian bersama Cici, putri mereka.

Cici baru berusia satu tahun. Nama aslinya Claretta. Perawakannya mirip Stanley yang keturunan etnis Tionghoa, berkulit terang, bermata sipit. Mungkin karena itu orang-orang sekitar memanggilnya Cici.

Perawakan Stanley dan Cici kontras dengan warga lain, termasuk Saskia dan keluarganya, yang kebanyakan berkulit kulit sawo matang.

Tak banyak warga keturunan etnis Tionghoa di wilayah tersebut. Sebagian besar warga di Sepaku adalah orang asli Balikpapan atau kelompok keturunan transmigran dari Jawa.

Tetapi Stanley bukan transmigran. Kepindahannya untuk alasan praktis saja, menikahi Saskia yang merupakan warga keturunan asli Suku Balik di Sepaku.

Stanley lahir dan besar di Jakarta. Orangtuanya masih ada di Jakarta meski telah bercerai. Bapaknya memiliki jasa ekspedisi. Adik Stanley sedang disekolahkan di Tiongkok.

Secara finansial, hidup Stanley di Jakarta baik-baik saja. Ia adalah lulusan salah satu SMA swasta bertaraf internasional di Jakarta Utara.

Hanya saja kenyamanan ekonomi itu tidak serta-merta membuat hidupnya penuh. Hubungannya dengan sang ayah penuh lika-liku. Selepas lulus SMA, Stanley pergi merantau.

Keputusan itu membawa Stanley mendarat di Sepaku, dua ribu kilometer dari kota kelahirannya.

“Mana kuncinya, Mak?” tanya Stanley kepada Saskia setelah selesai membersihkan ilalang di depan rumah.

Saskia merogoh tas kecil di pundaknya, mengambil serenteng kunci dan menyerahkannya ke Stanley.

Stanley masuk ke dalam rumah. Ruangan-ruangannya masih kosong. Selain ruang tamu, bangunan itu terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Di ujung rumah, terdapat satu pintu menuju teras belakang yang masih dipenuhi ilalang.

Bangunan rumah terlihat tak kokoh. Tembok-temboknya retak. Stanley bilang retakan itu muncul sejak pertama kali diserahterimakan ke mereka. Pintu rumah pernah dengan mudah mereka jebol ketika kunci terselip di suatu tempat.

“Kalau tadi nggak ada [kunci], kutendang lagi,” kata Stanley tak peduli.

Stanley merapikan rambut hasil bleaching di salon langganan. Paling tidak, sebulan sekali ia pergi ke sana untuk menggunting rambut. Salon buka sampai jam 10 malam, terletak di Jalan Raya Sepaku, dikelola oleh pendatang dari Makassar. Stanley termasuk pelanggan yang disukai karena kerap memberi tip dan rokok. (Project M/Adrian Mulya)

Jadi Bartender sampai Kuli Bangunan

Stanley keluar dari rumah karena diusir bapaknya. Ia cekcok karena egonya yang besar, juga jengah atas perceraian orangtuanya. Ia bertekad membuktikan ia mampu hidup sendiri tanpa bantuan bapak atau ibunya.

Ketika itu ia hanya berpikir untuk keluar dari rumah. Belum ada tujuan atau rencana bagaimana bisa hidup sendiri.

Stanley sempat menumpang tidur di kantor sekuriti kompleks rumahnya. Stanley kenal baik dengan satpam di sana sampai-sampai diizinkan tinggal sementara di kontrakan petak milik petugas itu.

Lalu Stanley mencoba bekerja. Awalnya membantu si satpam bersih-bersih lingkungan kompleks, dari membersihkan got hingga mengecat dinding rumah. Lalu, ia bekerja sebagai helper, bersih-bersih di sebuah restoran ayam di Kelapa Gading.

Kemudian, ia lanjut bekerja di sebuah kafe minibar, juga di Kelapa Gading. Stanley memulai dari bagian cuci piring, lalu naik tingkat menjadi waiter. “Soalnya aku bisa ngomong [ke pelanggan],” ceritanya.

Dari menjadi waiter, posisinya naik lagi menjadi kasir. Hingga yang terakhir menjadi bartender. Tetapi, profesi itu tak lama digeluti.

Ia memutuskan keluar dari Jakarta. Stanley pergi ke Tarakan, Kalimantan Utara, dan tinggal di rumah salah satu kawannya. Ia mendapat tawaran kerja sebagai kernet merangkap sopir untuk salah satu gudang distributor.

Di bawah perusahaan yang sama, ia ditawarkan menjadi kuli bangunan. Pekerjaan ini yang membawanya keliling Kalimantan. Ia berhasil membangun kepercayaan dengan bosnya sampai akhirnya menambah tanggung jawab lebih besar untuk memeriksa barang-barang yang masuk ke gudang.

“Mungkin dinilainya aku rajin kerja,” ceritanya. “Bukan karena aku betulan rajin. Tapi karena aku nggak punya tempat tinggal, mau nggak mau aku kerja setiap hari.”

Saat menjadi kuli bangunan itu pula ia berkenalan dengan Saskia. Kala itu, Stanley tengah mendapatkan proyek bangunan di Balikpapan. Keduanya bertatap muka saat duduk di sebuah kafe.

Saskia tinggal di Balikpapan untuk sekolah, dari SMP hingga SMA. Ia tinggal di rumah keluarga mendiang bapaknya. Selepas lulus sekolah, Saskia bekerja di Balikpapan. Ia menjadi staf kasir di minimarket hingga pusat perbelanjaan.

Stanley tanpa berpikir panjang menghampirinya dan mengajak Saskia berkenalan.

Hubungan pacaran mereka lebih banyak dilalui jarak jauh. Stanley, kala itu bekerja di Samarinda, menghampiri Saskia setiap beberapa minggu sekali.

Di satu titik, setelah hampir berpacaran selama setahun, Saskia menantang Stanley. “Kalau berani, nikahin.”

Dan Stanley suka tantangan. “Ya, sudah. Aku nikahin.”

Rencana pernikahan itu yang membuat Stanley akhirnya menghubungi kembali keluarganya di Jakarta setelah tujuh tahun menghilang.

Stanley memang sengaja tak mau berhubungan dengan keluarga kandungnya di Jakarta. Jika ada orang rumah yang menghubunginya, Stanley langsung berganti nomor. Karena itu pula ia tak punya kontak satupun anggota keluarganya, termasuk sang ibu.

Menjelang pernikahannya, Stanley mencari-cari lagi kontak ibunya. Satu-satunya petunjuk adalah alamat toko kue ibunya yang terpampang di Google Maps. Tapi, tak ada nomor yang dapat dihubungi.

Stanley tak kehabisan ide. “Di sebelahnya ada toko. Ada nomor kontaknya. Aku tanya ke mereka. Mereka yang menyambungkan dengan ibuku.”

“Gimana respons ibumu waktu itu?”

“Dia kira aku sudah mati,” Stanley tertawa.

Stanley sedang menebas tanaman-tanaman liar yang menutup jalan setapak di depan rumah tipe 36 milik istrinya, Saskia. Rumah itu konon pemberian pemerintah untuk orang-orang lokal yang tidak punya tanah. Serah terima kunci terjadi pada 2021. (Project M/Adrian Mulya)

* * *

Gaya hidup Stanley semasa kecil hingga remaja sangat berkebalikan dari kehidupannya di Kalimantan.

Di bangku SMA, ia sudah mengendarai Honda Jazz yang sengaja dibelikan bapaknya karena melihat semua kawannya membawa mobil ke sekolah.

Maklum, Stanley sekolah internasional yang sering disebut “Beverly Hills”-nya Indonesia. Ketika itu, sekitar tahun 2010, uang muka sekolahnya saja Rp20 juta dan biaya operasional bulanan Rp1,5 juta.

“Kalau nggak dikasih mobil, nggak mau sekolah aku,” cerita Stanley.

Uang saku Stanley sebesar Rp50 ribu per hari. Nominal yang menurutnya masih kurang jika mengikuti gaya hidup siswa-siswa lain.

Tetapi gaya hidup yang mewah itu tidak membuat prestasi Stanley di sekolah menjadi gemilang. Ia justru menyesali keputusan bapaknya menyekolahkannya di sana. Sebagai anak lulusan SMP swasta Katolik yang berperaturan ketat, Stanley merasa lebih mengalami culture shock menyaksikan gaya hidup kawan-kawan SMA-nya, dibandingkan ketika menjadi kuli bangunan.

Menurut Stanley, kawan-kawan pergaulannya bukan tipe yang memedulikan prestasi di sekolah. Kebanyakan sudah punya jalur karier yang ditetapkan para orangtuanya.

Kata Stanley, sebagian teman-temannya kini sudah jadi pengusaha, ada pula yang telah menjadi aktor dan Youtuber, dengan video-video telah ditonton puluhan juta kali.

“Pokoknya aku SMA itu hancur,” katanya.

Pergaulan semasa sekolahnya itu membuatnya menjadi lebih sembrono. Ia tak lagi peduli pada pelajaran sekolah dan mengambil setiap kesempatan untuk bisa mangkir dari kelas. Guru-gurunya juga tak akan terlalu peduli siswanya akan masuk kelas atau tidak. Nilai mereka sekadar ditentukan dari kemampuan mengerjakan ujian di tengah dan akhir semester.

Dari yang tak tahu menahu soal minum-minuman beralkohol, Stanley jadi ikut minum dan mabuk. Kawan-kawannya mengajaknya pergi ke Alexis, sebuah bar terkenal di Jakarta, lalu mereka minum sampai pukul 3 pagi.

“Aku nggak yakin orang yang keluar dari sekolah itu sukses dengan otaknya saja. Ndak yakin aku. Kalau gara-gara orangtuanya, iya,” ujar Stanley. Ia kembali mengingat masa-masa pergaulan dulu saat SMA.

Selama di kelas, mulai dari pelajaran bahasa Inggris, matematika, hingga biologi, Stanley merasa tak mampu untuk mengikuti pelajaran. “Nggak ada yang nyambung di otakku. Menyesal makanya.”

“Kenakalanku juga, sih,” sesalnya.

Di sisi lain, ia merasa Jakarta bukan kota yang ramah bagi kalangan minoritas sepertinya. Sebagai orang beretnis Tionghoa, Stanley kerap merasa tak dihargai sebagai manusia.

“Kita dulu di Jakarta dianggap Cina. Dikucilkan, bukan dikucilkan. Diremehkan.”

Pengalaman itu tak ia temukan di Sepaku. “Kalau di sini, biar kita ndak kenal, pasti dibantu.”

Hingga kini, hubungan Stanley dan bapaknya tetap tidak baik. Sudah masuk tahun kedelapan sejak bapaknya mengusir Stanley dari rumah. Sudah selama itu pula mereka putus hubungan.

Ketika Cici lahir, bapaknya mendengar kabar itu dari ibu Stanley. Ia meminta Stanley membawa Cici ke Jakarta. Tapi Stanley menolak.

“Kenapa nggak mau?”

“Masih dendam. Hahaha,” canda Saskia, menimpali Stanley.

“Belum…apa, ya.” Stanley menghela napas. Ia mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi hubungannya dengan bapaknya. “Dulu, kan, dia ngusir aku. Suruh cari uang sendiri tanpa bantuan keluarganya.”

Ia terdiam sejenak. Lalu dengan santai melanjutkan, “Aku ditantang malah senang.”

Stanley berusaha membuka gembok kunci tambahan pada pintu rumahnya. Ia menambahkan gembok pengaman karena ia pernah terpaksa menjebol pintu akibat tidak dapat menemukan anak kuncinya. Ia mengatakan mudah sekali pintu tersebut ia jebol. (Project M/Adrian Mulya)

Menemukan Keluarga Baru

Di teras rumah panggungnya, Hartati sedang menggendong Cici.

Cici merengek karena mengantuk tapi tak kunjung tertidur. “Cengengnya anak Cina satu ini,” ujar Hartati dengan sayang.

Hartati adalah mertua Stanley. Hubungannya dengan Stanley cukup dekat. Stanley dan Saskia biasa menitipkan Cici ke Hartati selama mereka bekerja di siang hari. Keduanya akhirnya lekat dengan satu sama lain. Cici bahkan bisa mengamuk saat terbangun tanpa ada Hartati di sisinya.

Persepsi awal Hartati saat bertemu Stanley tak langsung positif. “Macam anak-anak berandalan kota,” katanya.

Stanley tiba-tiba datang ke kampung untuk melamar dan menikah dengan putrinya. Stanley bagai ilalang yang telah lama terbang di udara dan tak punya tempat menjejak lagi.

Ia datang tanpa memiliki KTP. Stanley memilih mengaku tak memiliki keluarga. Pekerjaan terakhirnya adalah kuli bangunan. Sekilas, prospek calon menantunya tidak meyakinkan. Kendati begitu, ia tetap memberikan restu.

Hartati teringat momen Stanley dan Saskia menikah. Momen yang membuatnya menjadi terbahak.

Jelang pernikahan, Stanley menjalani operasi sunat. Lukanya belum sembuh total sehingga harus melakukan ijab kabul dengan mengenakan sarung. Stanley beberapa kali mengeluh akan lukanya yang tak kunjung sembuh. Kawan-kawannya mengoloknya. “Aduh, nggak bisa malam pertama, nih.”

Melalui panggilan video, ibu kandung Stanley menyampaikan kekhawatiran anaknya kena santet. Lantas menyuruh Stanley mencari dukun untuk menyembuhkan ‘santet’-nya.

Kecurigaan kena santet itu bikin Hartati geleng-geleng kepala. Ia berpikir logis saja: tentu saja luka operasinya tak kunjung pulih. Tak seperti anak-anak, proses pemulihan luka pada orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama.

Hartati bergegas mengumpulkan daun-daun kayu dari hutan, merebusnya, lalu menyuruh Stanley membasuhkan lukanya dengan air rebusan. Hartati menyebutnya “daun-daun bau.”

Hartati juga memarutkan kunyit mentah untuk Stanley. Setelah lukanya dibasuh dengan air hasil rebusan, Hartati menyuruh Stanley menempelkan lukanya dengan parutan kunyit.

“Tidak apa-apa, kah, Mak?” Stanley bertanya agak ragu.

“Sudah, lah. Itu obat orang tua dulu,” jawab Hartati. “Masak aku mau kasih rusak kamu?”

Setelah dua bulan, akhirnya lukanya kering dan pulih total. Kesimpulannya, Stanley tidak disantet.

Tinggal di Sepaku menandakan babak baru kehidupan Stanley. Selama merantau, Stanley hanya mengandalkan fotokopi kartu keluarga sebagai penanda ia benar warga negara. Dibantu Saskia, ia mengurus kartu identitas dan domisili barunya di Sepaku.

Tak menunggu lama, Stanley mendaftarkan pernikahannya dengan Saskia di kantor urusan agama. Ia mengubah agama di kolom identitas menjadi Islam, menyesuaikan agama sang istri demi memudahkan https://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi pernikahan.

Stanley tak terlalu ambil pusing apa agamanya yang tercatat di negara. Toh, selama ini, ia juga bukan orang yang religius.

Saskia dan Cici berada di dalam rumah sembari menunggu Stanley menyalakan listrik rumah. Saskia, istri Stanley mendapatkan rumah karena ia orang lokal yang tidak memiliki rumah. Serah terima kunci baru saja terjadi pada 2021. (Project M/Adrian Mulya)

Pekerja Fogging: Kena Asap Racun, Ketemu Bom Babi

Menikah dan memiliki keluarga baru menjadi tantangan lain bagi Stanley.

Hingga beberapa bulan setelah Cici lahir, Stanley dan Saskia masih menumpang tinggal di rumah adik Hartati, Juju, sebelum akhirnya berani mengontrak rumah sendiri.

Ia sempat kesulitan mendapatkan pekerjaan. Selama beberapa bulan pertama tinggal di Sepaku, Stanley bergantung pada pendapatan istrinya yang bekerja sebagai staf https://projectmultatuli.org/wp-content/uploads/2021/06/5668A357-39CA-4B12-902A-DAE1F707FCD7-1.jpegistrasi di kelurahan. Stanley sampai menjual ponsel miliknya demi membiayai hidupnya.

Ia kelimpungan saat harus membayar ambulans untuk membawa istrinya yang hendak melahirkan. Ketika itu, ambulans gratis dari puskesmas sedang tak tersedia. Biaya sewa ambulans mencapai Rp650 ribu. Uang di kantongnya hanya Rp350 ribu.

Ketika Cici lahir, tanggung jawabnya semakin bertambah. Sementara pemasukan nihil. Ia dan Saskia mesti membeli susu formula karena Cici menolak ASI. Lalu ada pengeluaran untuk popok sekali pakai.

“Cici ini susunya Rp180ribu buat empat hari. Kalau pampers aku nggak tahu. Dia nggak pernah nggak pakai pampers. Sudah nggak bisa aku hitung.”

Di saat kondisi keuangan sedang ketat-ketatnya, gaji Saskia juga sempat telat dibayar selama dua bulan. Ini imbas dari korupsi mantan bupati saat itu, Abdul Gafur Mas’ud. “Ndak digaji. Ngapain masih masuk kerja?” kata Stanley kepada istrinya suatu hari dengan gemas.

Sudah tak memungkinkan baginya bolak-balik ke luar Sepaku untuk melanjutkan pekerjaan, walaupun mantan bosnya memanggilnya dan memintanya bekerja di Papua. Bosnya sempat menghampiri Stanley ke Sepaku untuk membujuk langsung, tetapi ia menolak.

Kariernya seperti dimulai dari nol lagi di tempat tinggalnya saat ini.

Cici lahir ketika Stanley masih menganggur dan membuat ia kebingungan karena masalah dana persalinan. Momen kelahiran Cici membuat Stanley berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mau menjadi orang yang tidak memiliki uang. (Project M/Adrian Mulya)

Suatu waktu, ia mendapatkan kabar dari Juju bahwa ada lowongan kerja untuk bekerja di atas. Atas yang dimaksud adalah bekerja di hutan tanaman industri.

“Suaminya (kawan Juju) punya pangkat di atas. Suaminya disuruh oleh manajer untuk mencari orang bagus yang benar-benar mau kerja. Dia tawarin aku. Ternyata aku masuk,” cerita Stanley.

Ia sempat menolak tawaran itu karena tak punya motor. “Tapi akhirnya dipinjamkan uang sama bosnya istriku. Aku cari motor. Habis itu aku bayar cicil tiap bulan.”

Ini jadi awal mula Stanley mendapatkan pekerjaan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Pagi hari, Stanley meluncur ke atas dengan motor barunya. Ia mulai bekerja sebagai anggota pengasapan (fogging).

Tugas pertamanya adalah membawa mesin fogging mengelilingi hutan tanaman industri untuk mengusir hama (belalang) yang menggerogoti dedaunan pohon eukaliptus dan akasia.

Setiap hari, ia dan pekerja lain menyusuri hutan seluas sekitar 30 hektare. Dua orang membawa parang untuk membuka jalan. Seorang pekerja membawa mesin fogging. Seorang lain mengawasi jalan sambil membawa bensin untuk mesin fogging. 

Satu tahun bekerja sebagai tim fogger, kini posisinya telah naik tingkat menjadi kepala fogger. Gajinya sekitar Rp130 ribu/hari yang dibayarkan pada awal bulan. Setiap bulan, ia mendapatkan sekitar Rp3 juta.

Awal-awal bekerja, Stanley sempat sering sesak napas. Tubuhnya juga gatal-gatal karena terkena racun fogging. Hujan membuat kondisi semakin berbahaya: asap turun ke bawah bersama air hujan dan membuat tubuh semakin terpapar racun. Karena itu, Stanley selalu siap sedia mantel sehingga bisa langsung mengenakannya saat hujan turun.

“Sudah dua kali aku gatal-gatal sampai di selangkangan. Anggotaku sudah pernah merasakan semua. Sampai pagi aku tak bisa tidur gara-gara gatal.”

Menjadi fogger juga membuat kemampuan pendengarannya berkurang. “Bunyi mesinnya kencang,” jelas Stanley. “Ini telingaku sebelah kiri [sulit mendengar]—makanya, istriku sering marah. Kalau diajak ngobrol, sering tidak merespons.”

Perusahaan sebenarnya menyediakan hazmat serta masker dan earplug untuk para pekerja. Tetapi, memakai hazmat dengan mereka harus berjalan lebih dari 30 ha setiap hari juga adalah tantangan lain. “Panas,” Stanley menjawab singkat.

Biasanya baju hazmat dipakai ketika mereka harus membuat laporan kerja ke atasan. Setelah foto-foto untuk laporan selesai, baju itu akan dilepas lagi.

“Pokoknya, setiap kita ada kendala, harus kita foto. Misal, kami di lokasi, jatuh. Atau motor nyangkut. Harus foto,” terang Stanley. “Juga kalau ada tamu besar. Baru pakai APD lengkap.”

Tak lama setelah bekerja di bagian fogging, atasannya meminta Stanley mengikuti program MT agar bisa berstatus karyawan tetap.

Management trainee?”

“Mandor trainee.” Stanley menjawab sambil tertawa.

Syarat MT adalah harus melalui karantina selama enam bulan. Tapi, Stanley menolak.

Menurut hitung-hitungannya, menjadi mandor atau asisten—yang posisinya di atas mandor—imbalannya tak seberapa dibandingkan posisinya saat ini sebagai buruh harian.

Problemnya, ada di tanggung jawab lebih besar. Menurut Stanley, menjadi mandor atau asisten berarti mesti siap “dimaki-maki”.

“Asisten cuma dapat gaji Rp5 juta. Sedangkan aku kalau full bisa sampai Rp4 juta. Aku tanpa dimaki-maki. Sedangkan asisten, tiap malam ada class meeting sampai pukul 12 malam,” kata Stanley.

Stanley menunjukkan sebuah foto tanah kosong di hutan dari ponselnya. Sekilas, tak ada yang janggal. Ketika dilihat lebih teliti, terlihat segenggam biji sawit diletakkan di tanah. Stanley bilang di bawah kumpulan biji sawit itu sebuah bom babi telah ditanam di bawahnya.

“Jadi dia makan, kepalanya [babi] hancur.”

Bom babi dapat diidentifikasi dari kejanggalan-kejanggalan kecil di lokasi petak tanaman industri. Jika petak terlihat terlalu bersih, dan di sebuah titik ada biji-biji sawit atau ranting yang terkumpul, maka kemungkinan besar ada bom babi di dalamnya.

“Rahang babi pecah. Apalagi kaki kita.”

Dengan risiko pekerjaan cukup tinggi, Stanley tak ingin menambahnya lagi dengan jam kerja lebih panjang dan tekanan terhadap mental. Ia cukup puas dengan pekerjaannya saat ini yang ia anggap seperti “bermain game”.

Tak terlalu peduli juga dengan jenjang karier, Stanley lebih mengutamakan work-life balance. Ia masih punya cukup waktu untuk dihabiskan bersama Saskia dan Cici. Atau, untuk sekadar beristirahat.

“Aku ndak suka terlalu terikat. Kecuali gaji asisten Rp8-10 juta,” katanya, terkekeh.

Stanley dengan motor hasil mencicil menjadi kuda besi yang dikendarainya setiap pagi menuju IHM bekerja sebagai anggota pengasapan (fogging). (Project M/Adrian Mulya)

Mencari Hunian Tetap di Tengah Proyek IKN

Rumah petak tempat Stanley dan Saskia mengontrak adalah milik seorang kepala adat yang letaknya persis di seberang rumah Hartati.

Rumah itu berbagi atap dengan sebuah ruang gudang dan satu rumah petak lain yang juga dikontrakkan. Stanley masuk dari pintu belakang rumah menuju ke dapur. Dari dapur, ada pintu lagi menuju ruang tamu dan sebuah kamar tidur. Keduanya terpisah oleh papan GRC.

Tak banyak barang di dalam rumah. Ruang tamu rumah menjadi lorong menyambungkan ruang dapur dan kamar tidur sekaligus tempat mereka menyimpan jemuran serta makanan-makanan kecil. Kamar tidurnya sekadar cukup diisi satu kasur ukuran single, 120×200 cm.

Di dalam kamar, terpasang AC inverter. Jika tak pasang AC, kamar tidurnya yang tanpa ventilasi jadi terlalu pengap. Sementara mereka tidur bertiga di ruangan itu. Stanley baru saja melunaskan cicilan AC dari sekuriti di tempatnya bekerja yang biasa menawarkan jasa kredit.

Beberapa bulan lalu, cicilannya sampai Rp5 juta/bulan untuk kebutuhan AC, ponsel, dan motor. Kini, setelah cicilannya lunas, ia lanjut memulai cicilan baru, dari cicilan sparepart motor dan sisa cicilan motor yang jika ditotal mencapai Rp6 juta/bulan.

Stanley tak menghitung pasti berapa gajinya tiap bulan. Upahnya harian, totalnya bisa fluktuatif tiap bulan. Tetapi yang pasti gaji itu tak pernah ia bawa pulang ke rumah alias selalu habis untuk cicilan-cicilannya. Istrinya Saskia ikut membantu sebagian biaya cicilan.

Prinsip hidup Stanley:

Pertama, “Kalau nggak nyicil, mana bisa punya sih?” (In this economy?)

Kedua, “Kalau punya cicilan, jadi semangat kerja.”

Baru sekitar setahun terakhir ini Stanley dan Saskia mengontrak di rumah petak tersebut. Di belakang rumah, pepohonan masih tumbuh lebat. Listrik baru terpasang setelah mereka mulai mengontrak. Mereka sendiri yang memanggil orang PLN dan memasang meteran listrik.

Suatu hari, seekor beruk sempat muncul di dapur. Ia hendak mencuri makanan. Stanley saat itu baru saja selesai vaksin COVID-19 dosis pertama. Ia meriang dan tubuhnya pegal-pegal. Tetapi, ketika melihat beruk masuk ke rumahnya, sakit itu langsung menguap.

“Aku langsung loncat. Cari parang. Gedenya beruk itu.”

“Segede apa?”

“Segede Dewi gitu, lah,” kata Stanley, membandingkan dengan adik iparnya yang sedang duduk di bangku 4 SD.

Di waktu lain, ada juga kera duduk bergerombol di atap. Ukurannya lebih mungil dari beruk, tapi kelakuannya lebih beringas.

“Cici dengan ibunya mau ke rumah neneknya. Buka pintu dapur, di atas seng itu sudah. Aku langsung bangun. Kupegang Cici sambil bawa parang,” katanya. “Kuusir-usir malah makin dekat dia.”

Pengalaman itu membuat mereka terbiasa dengan kehadiran hewan-hewan liar; dari ular sampai biawak.

Tampak bagian muka rumah panggung petak tempat Stanley dan Saskia mengontrak. Rumah itu berbagi atap dengan sebuah ruang gudang dan satu rumah petak lain yang juga dikontrakkan. (Project M/Adrian Mulya)

Meski mengontrak, rumah petak ini telah menyimpan banyak kenangan. Stanley bekerja keras melakukan renovasi. Ia membangun ruangan baru di belakang rumah untuk ruang dapur dan kamar mandi. Ia juga menambahkan sekat antara ruang tamu dan kamar tidur demi menghindari banyak tikus.

Makanan yang tidak masuk toples kaca jadi sasaran. Plastik sudah tidak mempan lagi, tikus-tikus pintar sudah pasti menggerogotinya sampai berlubang.

Cici pernah jadi korban tikus kenyang. Saat tidur, tahi-tahi tikus jatuh dari atap dan menempel di dahi Cici. Stanley kasihan melihatnya. Ia memutuskan membuat kamar tidur khusus untuk mencegah hal itu terjadi lagi.

“Itu semua tahi, tuh.” Stanley menunjuk ke atas atap rumahnya.

Renovasi dilakukan secara kilat. Tak sampai dua hari, bangunan baru telah jadi.

Stanley mengerjakan renovasi dengan bantuan keluarganya. Mertuanya bertugas sebagai ‘arsitek’ yang merancang posisi dan luas ruangan. Stanley mengajak rekan-rekan kerja dan adik iparnya membangun pondasi dapur. Suami dari kakak iparnya bertugas memasangkan atap.

Lalu ia mendapatkan kayu dari pondok milik kepala adat yang sudah tak terpakai lagi. Ia memperbolehkan Stanley membongkarnya.

Jika dihitung-hitung, untuk membuat sekat kamar saja, ia telah menghabiskan Rp2,6 juta. Perinciannya, Rp2 juta untuk material, Rp600 ribu untuk tukang, “Untuk dapur, sudah nggak kehitung aku.”

Sekat yang memisahkan ruang tamu dengan kamar tidur. Jika dihitung-hitung, untuk membuat sekat kamar, Stanley menghabiskan Rp2,6 juta. Rp2 juta untuk material, Rp600 ribu untuk tukang. (Project M/Adrian Mulya)

* * *

Stanley sebetulnya punya rencana tambahan di tempat tinggalnya. Ia berencana membuat bengkel kecil-kecilan di depan rumah. Juga menambahkan pagar.

Tapi, tempatnya mengontrak saat ini terancam kena gusur imbas proyek Ibukota Negara (IKN).

Stanley sebenarnya tak terlalu menaruh perhatian besar terhadap wacana IKN. Tak seperti kedua mertuanya yang secara vokal kritis menolak pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan intake Sepaku oleh PT Adhi Karya yang berujung pada penggusuran sejumlah warga.

Lambat laun, ia mulai merasakan dampaknya.

Patok-patok kayu sudah dipancang di sekitar rumah petak milik kepala adat. Hanya tinggal menunggu waktu rumah itu kena gusur. Beberapa ratus meter dari lokasi kontrakan Stanley, sederetan rumah telah kena gusur dengan ganti rugi tak seberapa.

Stanley terpaksa memutar otak untuk mulai mencari tempat tinggal baru untuk  keluarganya. Tetapi, ia tak ingin terus berpindah-pindah. Ia ingin menetap di satu tempat.

Seorang warga menatap Stanley aneh. “Kok bisa istrimu nggak punya tanah?” tanyanya.

Sebagai orang keturunan suku asli di Sepaku, tak memiliki tanah, atau tidak diwariskan tanah, adalah hal janggal. Nilai tanah pernah seperti kacang goreng di tempat mereka. Setiap orang dapat mengambil sesuka mereka. Sekuat mereka merintis atau membuka lahan, yang kemudian diwariskan untuk anak-cucu.

Pada 1970-80an, sepetak tanah bisa dihargai satu lampu pijar.

Tetapi, itu tidak berlaku bagi keluarga Saskia. Orangtua Saskia, Hartati, tak mewariskan tanah untuk anak-anaknya. Tanah-tanah yang dahulunya milik leluhur mereka diklaim sebagai “tanah negara” oleh pemerintah yang kemudian diserahkan ke perusahaan besar seperti PT IHM untuk dikelola sebagai hutan tanaman industri.

Dengan Hartati dan saudara-saudara lainnya tak diwariskan tanah, otomatis anak-anak mereka semakin tak memiliki warisan apa-apa lagi.

Maka, tak ada pilihan lain bagi Stanley selain membeli tanah. Stanley sudah mendapatkan tawaran untuk membeli satu kavling tanah. Seluas 10×15 meter persegi, tanah itu dijual warga dengan harga Rp25 juta.

Warga penjual menawarkan opsi mencicil. Stanley bisa membayar setiap bulan dengan jangka waktu longgar alias semampu Stanley mencicil. Tetapi, harganya naik menjadi Rp45 juta.

Selisih Rp20 juta cukup besar. “Hampir 100%,” kata Stanley.

Saskia hampir nekat menjual motor Scoopy untuk membeli tanah itu, lalu menambal sisanya dengan gaji mereka.

Stanley hampir nekat mengiyakan skema cicilan yang ditawarkan si penjual.

Ada plus dan minusnya. Plusnya, si penjual tak ambil pusing soal jangka waktu cicilan. Stanley juga diperbolehkan menyicil semampunya. Kebetulan, si warga memperbolehkannya membangun pondok di tanah selama masih mencicil.

Tetapi, belakangan ia baru mengetahui si penjual tak memegang surat tanah. Stanley juga tak bisa membuat sertifikat baru. Semenjak proyek IKN berlangsung, pemerintah melarang penerbitan sertifikat tanah.

“Aku takut juga jika nekat membeli, entah itu membayar tunai atau menyicil, satu-satunya jalan adalah membeli di bawah tangan. Dan itu berisiko tak diakui secara hukum.

“Nanti kita sudah nyicil, tapi yang punya tanah asli [di dokumen] minta, gimana?”

Ia seperti terimpit. Dari melarikan diri dari ibukota, Stanley tak menyangka justru kembali terpapar masalah-masalah ibukota (baru).

“Gimana dengan rumah Jokowi?”

“Nggak berminat,” ujar Stanley. Rumah itu seperti dibangun bukan untuk ditinggali. “Belum ditempati, sudah retak [temboknya]. Jalanannya saja begitu. Asal. Bayangin ke sana kalau lagi hujan.”

Bagian belakang rumah panggung petak kontrakan Stanley dan motor yang hampir dijual untuk membeli tanah yang ternyata tak ada surat tanahnya. (Project M/Adrian Mulya)

* * *

Stanley sedang duduk santai di teras rumah panggung mertuanya. Ia menyalakan sebatang rokok dan mengisapnya santai. Pandangannya tertuju asal ke jalanan di depan rumah, sambil sesekali menengok ke dalam, mengecek anaknya, Cici, yang sedang asyik diajak bermain oleh ibu mertuanya.

Ia mencoba mengingat-ingat kenangan terakhirnya tentang Jakarta. Ia masih ingat harga sekali naik bus TransJakarta Rp3.500. Saat itu belum ada MRT Jakarta. Apalagi LRT. Stanley setengah tidak percaya bahwa harga TransJakarta masih belum berubah hingga kini.

Selebihnya, ingatan Stanley tentang Jakarta mulai memudar. Ia mengatakan jarak antara Jakarta Utara ke Jakarta Selatan jauh sekali. Hampir seperti dari rumahnya di Sepaku, Penajam Paser Utara ke Samarinda (116 km).

“Mana ada. Nggak sejauh itu.” Kami menjawab Stanley.

“Masa? Rasanya jauh banget.”

Ia sempat memikirkan rencana untuk berkunjung ke Jakarta. Setelah menghitung-hitung dengan istrinya, mulai dari tiket pesawat pulang pergi untuk bertiga, transportasi, biaya penginapan, dan lain-lain, butuh uang setidaknya Rp20 juta untuk ke Jakarta. Seharga satu unit motor. Atau hampir seharga satu kavling tanah yang ingin ia beli. Rencana itu akhirnya ia masukkan ke prioritas ke sekian.

Tetapi, jika nantinya ada kesempatan untuk pulang ke Jakarta, Stanley hanya akan berkunjung ke tempat ibunya untuk mengenalkan anaknya.

Ibunya kini tinggal di Karawang. Sementara bapaknya masih di Jakarta Utara. Ia lebih percaya bahwa “surga ada di telapak kaki ibu.” Apalagi, setelah berhubungan kembali dengan ibunya, rezeki jadi lebih lancar.

“Kalau sama Bapak, aku nggak peduli, lah. Tapi, kalau sama Ibu, harus.”

Stanley sedang santai bersama bubuk bumbu buah kiriman Ibunya dari Jakarta. Ia duduk di ruang tamu rumah yang jadi lorong penyambung ruang dapur dan kamar tidur – sekaligus menjadi tempat mereka menyimpan jemuran serta makanan-makanan kecil. (Project M/Adrian Mulya)

Sebenarnya tak banyak yang membuatnya rindu pada kota yang serba padat dan semrawut itu. Jika ada satu hal, itu adalah rujak juhi, makanan masa kecilnya. Ada satu warung rujak juhi yang jadi langganan keluarganya. Stanley sudah meminta ibunya untuk mencari cara mengirimkannya ke Sepaku. Tetapi tidak memungkinkan karena itu makanan berkuah.

Ia hanya bisa meminta ibunya mengirim bubuk bumbu buah yang juga biasa ia makan di rumah. “Saking rindunya dengan masa kecilku,” katanya.

Stanley membayangkan orangtuanya tak akan mengira anaknya akan menjadi seorang buruh harian di sebuah hutan berjarak ribuan kilometer dari Jakarta.

Tetapi pindah ke Sepaku jadi salah satu keputusan terbaik hidupnya. Setelah hidup tanpa kepastian hampir sepuluh tahun, Stanley kini telah menemukan rumah dalam diri istri dan anaknya, tempat menetap terlamanya sejak ia pergi dari rumah.

Berat badannya telah naik hingga 40 kg sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampung Saskia, salah satu indikator kebahagiaan bagi Stanley. “Sekarang beratku sudah mau menyentuh 90 kg. Sudah nggak pernah kerja keras,” kelakarnya.

“Dia ndak kayak gitu dulu badannya,” kata Saskia sambil menunjuk perut Stanley.

“Iya. Makanya aku bilang ke teman-teman kantor, orang tuh nggak selamanya ganteng. Ada masanya,” canda Stanley.

Stanley tak memungkiri ada kebodohan dirinya di masa lalu. “Aku baru merasakan sekarang. Semenjak jadi orangtua.”

Terlepas dari itu, Stanley tak menyesal keputusan-keputusan yang ia ambil telah membawanya ke momen hidupnya saat ini. Ada jalur yang telah ia ambil. Dan Stanley akan tetap berjalan.


*Stanley, Saskia, dan Hartati bukan nama yang sebenarnya.

Laporan ini adalah bagian dari serial reportase #UnderprivilegedGenZ. Serial ini didukung oleh Kawan M

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Ronna Nirmala
24 menit