Underprivileged Gen Z Pesisir Dadap: Berpikir Kritis Agar Kampung Tak Terkikis Rob dan Kawasan Elite

Adrian Mulya & Ronna Nirmala
20 menit

RUMAH MAKAN Dadap Indah punya magnet yang membuat pelanggan setianya selalu kembali apa pun yang terjadi. 

Rumah makan yang dikelola keluarga Roub ini sudah ada hampir tiga dekade lamanya. Ibu Roub juga fasih mengingat siapa-siapa saja pelanggan setianya. Juru masaknya, Tata (55), tetap sama, setidaknya dalam dua dekade terakhir. 

Ahoy dan Olive, pasangan suami istri salah satu pelanggan setia rumah makan Ibu Roub, rela berkendara dari Bekasi menuju Kabupaten Tangerang untuk menikmati seporsi hidangan laut langganannya sejak belasan tahun silam. 

Seafood-nya lebih seger, bumbunya juga racik sendiri. Kalau dibanding makan di resto lain pasti beda harga, di sini jauh lebih murah,” ucapnya usai menyeruput es teh manis.  

Kerja keras keluarga Roub dan racikan khas Tata membuat restoran ini mencicipi ketenaran seantero pesisir Dadap dan Jakarta Utara. 

Pemandangan dari rumah makan Dadap Indah di kampung baru Dadap, Banten, 10 September 2023. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Namun, pascapandemi Covid-19, warung berdinding kayu yang mulai merompal ini kehilangan omset signifikan. “Nggak tahu pasti sih kenapa, ya mungkin kehalang beton dan jembatan itu. Mungkin juga karena jalanan makin rusak, orang jadi males dateng ke sini,” kata Pak Roub. 

Soal jalanan mungkin benar. Untuk menuju ke rumah makan ini setidaknya kita harus menempuh sekitar 1 km dari gapura Dadap. Jarak tak seberapa, tapi badan jalanan yang rusak membuat kendaraan berguncang hebat. Menurut warga, hal ini disebabkan pengurukan tanah yang sering mereka lakukan agar jalanan tidak merangsek tenggelam air laut. Maka tak heran, jalanan tampak lebih tinggi sekitar 5-10 cm dari rumah warga. 

Mungkin, akibat itu pula, pemandangan dari restoran ini bukan lagi pesisir pantai melainkan beton-beton dan jembatan. 

“Tapi sekarang gak mau lama-lama. Paling beres makan, ngelarung (menabur bunga ke pantai untuk mendoakan ibunya yang wafat), udah langsung pulang. Males juga gak bisa lihat pantai lagi kayak dulu, ya?” kata Ahoy. 

“Secara tradisi sih harusnya tebar ke laut lepas, ya, kalau ada beton begini airnya jadi gak ngalir,” ucap Olivia menimpali.

***

Di tengah-tengah upaya keluarga Roub mempertahankan bisnisnya kala pandemi, Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat (PUPR) memulai proyek tanggul di sekitar pesisir Dadap. Dalihnya adalah demi mengatasi banjir rob. 

Pembangunan dimulai tanpa sosialisasi kepada warga, begitu pengakuan Deddy Sopian Priadi (26), anak nelayan cum aktivis Kampung Dadap Baru. Baru beberapa bulan lalu, perwakilan KemenPUPR menggelar sosialisasi proyek tanggul dengan warga di Kelurahan Dadap.

Dalam rancangan proyek, tanggul sepanjang 4,8 kilometer itu akan membentang sepanjang Dadap hingga Kamal Muara, Jakarta Utara. Namun, alih-alih berdialog, mereka hanya memamerkan keunggulan tanggul berdesain kiwari dengan garansi mampu menahan banjir rob.

Lanskap tanggul pantai yang sedang dikerjakan di Pantai Dadap,Dadap, Banten, 10 September 2023. Pembangunan tanggul dengan program Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) direncanakan akan dibangun sepanjang 4,8 km dari pantai hingga ke sungai Perancis dan menjadi tanggung jawab Kemeterian Pekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat. Dampak proyek pembangunan tersebut sejumlah pemukiman nelayan di tepi sungai akan dibongkar. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

“Secara logis, saya setuju tanggul memang untuk menahan banjir. Tapi kita harus lihat bahaya latennya, nyatanya tanggul ini menghajar rumah-rumah nelayan yang ada di pinggir pantai Dadap,” ungkapnya. 

Meski rumahnya tak terdampak, tetapi ada saudara dan tetangganya yang dipaksa pindah dan dibayar murah. 

Wasi (36) adalah satu di antara 300 Kartu Keluarga yang digusur dalam proyek ini. Rumah bedeng yang ayahnya bangun dari tabungan hasil melaut bertahun-tahun hanya dihargai Rp12.200.000. Perempuan asal Indramayu itu dipaksa meninggalkan rumah yang ia tempati bersama keluarga selama 19 tahun terakhir. 

“Ya, mau gimana lagi, udah terlanjur dibayar. Katanya segitu aja udah paling gede. Jadi sekarang ayah terpaksa ngontrak di depan (pemukiman warga Dadap),” keluhnya. 

Uang itu, tak sebanding dengan biaya hidup yang harus ayahnya tanggung. Dalam sebulan misalnya, ayahnya harus menyisihkan Rp200 ribu untuk membayar sewa kontrakan, token listrik hingga air bersih yang minimal merogoh Rp10 ribu/hari untuk keperluan minum, mandi, dan mencuci baju. Sebagai anak, Wasi ikut memikul biaya hidup ayahnya, sementara ia dan keluarga kecilnya harus terus melanjutkan hidup dan mempersiapkan biaya pendidikan anaknya. 

Sudah rumah digusur proyek tanggul beton, pendapatan keluarganya juga hancur lebur karena proyek jembatan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2. Menurut Wasi, sejak proyek jembatan itu mulai dibangun pada 2018, pendapatan suaminya sebagai nelayan turun drastis. Paku bumi yang menancap ke dasar laut menimbulkan getaran besar. Akibatnya, ikan dan rajungan kabur sebelum berhasil ditangkap.

Gegara proyek itu pula, rute nelayan yang semula hanya lurus ke rumpon (wilayah penangkapan ikan/rajungan), kini harus berbelok atau memutar lebih jauh. “Solar aja sekarang Rp9.500/liter gak cukup 10 liter sekali jalan, belom rokoknya. Apalagi kalau bawa bidak (anak buah),” katanya.

Ongkos besar itu nyatanya tak pernah sebanding dengan penghasilan yang bekisar 300 ribuan sekali melaut. Karena itu, Wasi yang sehari-hari sibuk mengurus rumah dan anak semata wayangnya, kini membubuk ikan hasil tangkapan suaminya untuk menyambung biaya hidup sehari-hari.

Keluhan serupa juga dirasakan nelayan lainnya seperti Khodori (45). Ia yang mulai berlayar sejak 1992, merasakan perbedaan drastis antara Dadap sebelum dan setelah proyek PIK 2 dan betonisasi tanggul. 

Ia yang pergi melaut saban pukul 4 dini hari hingga jam 2 siang hanya mendapatkan 2 sampai 10 kilo ikan atau udang. Dengan hasil seadanya, ia menjual tangkapannya sekitar Rp45 ribu per kilo atau sesuai kisaran harga pasar. 

Khodori menduga, selain karena tanggul dan pengeboran proyek jembatan PIK 2, ikan dan udang semakin sulit dijaring akibat air yang tercemar limbah industri. 

“Ya, gimana ya, udang dan ikan gak mau hidup di air kotor, makanya mereka pergi jauh cari air yang masih bersih. Beda cerita sama kerang ijo yang emang nyerep racun,” imbuhnya.

Suwandi (48) nelayan dadap membawa kerang hijau di dermaga kampung. Menurutnya, sejak proyek pembangunan beton dimulai, tangkapan ikan kian menipis, kalau pun dapat ukurannya kecil-kecil, ia terpaksa menjual dengan harga murah.Tidak sampai 20 ribu perkilo. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Warga Gusuran Merintis Dadap dari Nol

Deddy menunjukan buku bersampul merah yang ia bawa pada saya. 

“Ini skripsiku soal pengalaman warga Dadap yang dari jaman kakek nenek sampai sekarang mau digusur mulu,” kata Deddy.

Skripsi berjudul Problematika Peningkatan Hak Atas Tanah Negara Menjadi Hak Milik (Studi Kasus di Kelurahan Dadap). Dalam tugas akhirnya itu, Deddy tak sekadar melakukan analisis deskriptif atas perkara agraria di kampungnya, tetapi juga mendokumentasikan sejarah lisan riwayat penggusuran warga Dadap yang tak pernah dilakukan oleh warga Dadap lainnya.

Dalam skripsi setebal 61 halaman itu, Deddy menceritakan awal mula kedatangan nenek dan kakeknya serta ratusan nelayan pendatang lainnya ke Dadap. Pada 1975, mereka yang tercatat dalam 75 Kartu Keluarga yang bermukim di kampung nelayan Muara Karang, Jakarta Utara digusur Pemprov DKI Jakarta. Penggusuran seturut mandat Pemprov DKI Jakarta untuk mempersiapkan lahan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Muara Karang 1978-1979.

Skripsi Deddy Sopian Priadi “Problematika Peningkatan Hak Atas Tanah Negara menjadi Hak Milik” yang mengangkat persoalan Dadap. Kampung Baru Dadap, Banten, 1 Oktober 2023. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Para nelayan awalnya ingin direlokasi ke Muara Angke, Jakarta Utara, mengingat masih berada di sekitaran wilayah pesisir tempat mereka mencari nafkah. Namun, atas kesepakatan bersama, mereka akhirnya memilih bermukim di Kampung Baru Dadap, Kelurahan Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten. 

Kedatangan mereka disambut Kepala Desa Dadap kala itu. Kepala Desa mengizinkan eks warga gusuran Muara Karang tinggal dan mendirikan rumah di sepanjang sungai Dadap hingga ke tepi laut. Tak hanya membangun rumah tinggal, untuk memenuhi kebutuhan bersama mereka pun patungan membiayai pembangunan sarana sosial seperti musala, madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), pelelangan ikan hingga koperasi Mina Bahari. 

“Bisa dibilang para tetua kami itu merintis semuanya dari nol, tanpa bantuan pemerintah setempat,” kata Deddy. 

Selain membangun sarana dan prasarana, mereka pun menaati administrasi dengan mengubah KTP yang semula berstatus warga Muara Karang, Jakarta Utara menjadi warga Desa Dadap. Pun para nelayan yang mengambil pendapatan dari hasil laut membayar Iuran Rehabilitasi Daerah (IREDA) dan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) kepada pemerintah seperti dalam aturan negara.

Bangunan rumah makan hidangan laut yang telah hancur akibat air pasang kawasan pantai Dadap, Kampung Baru, Dadap, Banten, 10 September 2023. Di tahun 80-90an,rumah makan olah hasil laut bertebaran di pantai dadap. Pemandangan lautan lepas dan semilir angin meenjadi daya tarik warga kota Jakarta maupun sekitar Tangerang dan Banten untuk berpelesiran. Namun kini kondisinya rusak parah dan hanya dua restoran yang tersisa. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Hantu Tanah, Musuh dalam Selimut

Bentrok warga Dadap versus 550 aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP takkan pupus dari ingatan Nurangdini Zaenab (23). 

Hari itu, 10 Mei 2016, ia yang baru genap berusia 16 tahun, terpaksa menyaksikan langsung percobaan penggusuran kampung halamannya. 

“Orang-orang dekat saya berkelahi. Sebagian lainnya menangis mempertahankan kampung halaman kami. Miris, kok bisa tempat kami tinggal dan cari nafkah selama puluhan tahun mau digusur?” 

Kericuhan bermula dari Surat Peringatan (SP) 1 Nomor 301/1081-SPPP. Dalam surat itu, Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar, memandatkan penutupan usaha kafe dan lokalisasi pekerja seks di Kampung Dadap Baru. Warga yang sebelumnya telah menutup secara mandiri lokalisasi dan kafe, bahkan melibatkan Kementerian Sosial untuk membina pekerja seks, tegas menolak SP 1 tersebut. 

“Kami sebelumnya malah sudah mendatangi kantor Bupati. Tapi lewat Sekda, mereka ngotot tetep mau menggusur rumah warga,” terang Deddy. 

Setelah surat itu terbit, Pemerintah Kabupaten Tangerang meluncurkan SP 2. Kali ini yang datang tak hanya sepucuk surat, melainkan ratusan aparat yang merangsek masuk ke Kampung Dadap Baru. Warga yang murka mencegat mereka di Jembatan Baru Dadap. Para pemuda dan orangtua berjejer dalam satu barisan. Ibu-ibu menenangkan anak yang menangis dalam dekapannya. 

“Tujuannya menertibkan lokalisasi, bukan menggusur tempat tinggal warga,” janji palsu itu terus terngiang di kuping Anggi dan warga Dadap lainnya hingga kini. 

Anak-anak melihat foto linimasa kampung Dadap saat perhelatan Festival Dadap, 27 Oktober 2023. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Sikap warga yang skeptis jelas beralasan. Alih-alih menertibkan lokalisasi atas nama moral, percobaan penggusuran ini erat kaitannya dengan proyek Pembangunan Pulau A, B, dan C reklamasi Teluk Jakarta. Belum purna pembangunan proyek itu saja warga sudah ketiban apes bertubi-tubi. Kini, tanpa alasan yang transparan mereka malah ingin menggusur habis-habisan pemukiman nelayan. 

Warga yakin, di balik rencana ini, Pemerintah Kabupaten Tangerang berkomplot dengan pengembang untuk memuluskan rencana mega proyek para taipan. 

Pascakericuhan, warga yang didampingi LBH Jakarta mendirikan Forum Masyarakat Nelayan Kampung Dadap Baru (FMNKBD). Melalui forum ini, warga melaporkan maladministrasi yang dilakukan Pemkab Tangerang ke Komnas HAM dan Ombudsman. Jauh sebelum bentrokan terjadi, warga secara kolektif telah berupaya mengurus peningkatan status kepemilikan tanah dari milik negara menjadi milik warga. Namun, pendaftaran tanah yang sejak 1975 mereka tempati itu tak pernah digubris kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang. 

“Mereka berdalih tanah yang kami daftarkan milik PT. Angkasapura II, padahal mereka belum pernah datang langsung untuk memastikan lokasi yang kami maksud,” tegas Deddy. 

Dalam surat rekomendasi bernomor 0004/REK/0461.2016//VII/2016, Ombudsman mengeluarkan 9 butir rekomendasi. Salah satunya butir ke-8 yang menerangkan bahwa Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang harus memproses permohonan pendaftaran tanah oleh warga apabila dalam 30 hari permohonan SKT tidak direspons oleh kelurahan. Namun, hingga tulisan ini terbit, Pemerintah Kabupaten Tangerang tak juga bertindak. 

Tanah yang kami singgahi, lanjut Deddy, adalah tanah bebas milik negara bukan PT atau instansi tertentu. Deddy memberi bukti, jika memang benar tanah yang ia maksud benar milik PT Angkasapura II, mengapa perusahaan seperti Krematorium King Palace yang berjarak tak jauh dari rumah warga bisa punya Surat Hak Milik (SHM)?

Contoh lainnya adalah pembangunan Tol Sedyatmo yang menghubungkan Kamal dan PIK 2. Dalam proyek itu, pengembang membeli 40 rumah warga Dadap dengan ukuran 40 m2 senilai 40 juta per bidang tanah atau paling mahal sekitar 500 juta per rumah. 

“Padahal mereka baru beberapa tahun di sini, warga Dadap yang puluhan tahun tinggal di sini malah belum punya SHM,” sambungnya geram. 

Pada 1999, sebenarnya sudah ada 8 warga Dadap yang mengantongi SHM dan Sertifikat Hak Guna Bangunan dengan mendaftarkan secara individu. Namun, sekali lagi, ongkos administrasi dan sewa pengacara yang mahal membuat tak semua warga Dadap mampu. Mereka hanya segelintir yang beruntung, sementara 506 warga Dadap lainnya hingga kini hidup terkatung-katung tanpa kepastian hukum tanah. Pemerintah Kabupaten Tangerang yang abai bisa kapan saja mengusir warga Dadap dari tanah kelahiran mereka.

Suasana kampung Dadap di siang hari. “Lebih dari Sebuah Tanah Kelahiran Dadap. Kampung Kecil Penuh Kisah Yang Melibatkan Emosi dan Perasaan” menjadi slogan yang membangkitkan solidaritas warga Dadap untuk saling bersolidaritas dan bersiasat mengatasi keadaan yang tidak baik baik saja. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

“Tapi yang paling menyakitkan sebenarnya bukan soal pengembang yang membuat proyek. Kita tahu lah memang cara kerja kapitalis seperti itu, yang kita sesali justru warga kami sendiri yang berkhianat alias menjual tanah dengan harga murah dan pemerintah yang seharusnya berpihak pada rakyat malah mendukung korporasi,” ungkapnya sambil menggelang. 

Di Balik Stigma Bocah Nakal: Hidup Serba Minim Akses

Raut bungah tampak pada ratusan wajah pengunjung yang datang ke PIK 2 malam itu. Mata mereka tak hanya dimanjakan dengan rupa pagoda dan ornamen khas negeri tirai bambu yang memikat, pula makanan oriental yang menggoyang lidah. Tangan kanan menggandeng kekasih atau keluarga, tangan kiri menenteng tas belanja dari gerai-gerai waralaba paling kiwari. 

Hanya tersekat jembatan Baruyungan, pemandangan glamor di PIK 2 itu kontras dengan nasib warga Dadap yang serba ironis. Jangankan bergaya hedon, hak paling dasar seperti pengakuan atas status tanah dan akses air bersih saja belum terpenuhi. 

Pemuda kampung Dadap sedang berkumpul jelang perhelatan Festival Dadap. Sepulang bekerja, mereka memanfaatkan waktu untuk berlatih musik. Sebelum ada Festival Dadap, kegiatan nongkrong seperti ini sering dicap negatif: tawuran dan minuman keras. Di tengah fasilitas yang serba minim, mereka berupaya menghapus stigma. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Dari jembatan itu, pengerjaan beton tanggul yang melingkar sepanjang Dadap hingga Kamal Muara seolah sengaja menghalau realilitas warga terdampak proyek dari mata konglomerat PIK 2. 

Ayu Komala (23) aktivis warga Dadap, tak menyangka akan menjadi bagian dari roda bisnis pengembang yang menyikat beberapa hektare kampung halamannya. “Ini cuma batu loncatan aja kok, nanti kalo udah dapet kerjaan lain pasti pindah,” katanya.  

Ia yang kini bekerja di salah satu gerai makanan di PIK 2 itu baru saja menyandang gelar sarjana Ilmu Pemerintahan di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, STISIP Banten Raya. 

“Cari kerja susah, sekarang kerja apa aja dulu buat kumpulin uang dan cari kesibukan. Karena gak gampang juga kan kemarin bisa lulus kuliah,” sambungnya. 

Kalau bukan karena dua beasiswa dari Bidikmisi Kemendikbud dan sebuah kampus swasta di Tangerang, Ayu, anak nelayan, tak akan mungkin berpendidikan setinggi ini.

Menjadi sarjana bukan sebuah kewajaran di keluarga Ayu pun bagi warga Dadap yang secara umum hanya lulusan SMP atau SMA. “Orang sini terutama perempuan banyak yang tamat SMP langsung nikah, punya anak terus hasilnya pada stunting,” tegasnya.

Sebagai anak beasiswa, perjalanan Ayu mengenyam pendidikan tak melenggang mulus. Ia yang semula berkuliah di STMIK Satyagama Tangerang nyaris tak bisa menuntaskan semester akhir karena konflik internal pemilik kampus dan akreditasi yang belum diperbaharui. Ia baru tahu bahwa angkatan 2019 menjadi yang terakhir diwisuda, Ayu dan angkatan 2020 ke bawah tak bisa mendaftar sidang.

Dus, Ayu yang pantang menyerah sebelum mendapat gelar sarjana ini lalu mengakomodir mahasiswa lainnya untuk berunjuk rasa di kampus. “Karena aksi itu beasiswa aku dan pendemo lainnya dicabut, dari Kemendikbud 3 bulan gak cair. Status kemahasiswaan di Dikti gak jelas,” ungkapnya. 

Ayu Komala (23) memperlihatkan draft skripsinya berjudul “ Implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis Desa Rawa Burung Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang” Jurusan Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, STISIP Banten Raya, 15 Oktober 2023. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Ayu bersama kawan lainnya yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mencari bala bantuan dari dosen di universitas lain. Hampir satu tahun tak dapat kepastian, akhirnya beberapa bulan lalu ia mendapat kabar baik. Seorang dosen memberi Ayu dan beberapa kawannya akses untuk melanjutkan semester pendek dan wisuda di STISIP Banten Raya. Kesempatan emas itu segera ia ambil, meski harus sambil bekerja serabutan karena tak lagi ditopang beasiswa. 

Ayu yang ngotot sarjana tak semata ingin mengangkat derajat keluarganya, ia pun mau menjadi satu dari sedikit contoh perempuan dan anak nelayan Dadap bisa berpendidikan tinggi. Meski ia sadar, ambisinya masih jauh dari kenyataan Dadap hari ini; hanya ada 2 sekolah. 

“Satu SD negeri dan satu Madrasah Aliyah (MA). Itu pun fasilitas yang negeri kurang, orang lebih pilih MA tapi gak semuanya gratis,” ujarnya. 

Dalam skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Pendidikan Gratis Desa Rawa Burung Kecamatan Kosambi Kabupaten Tangerang, Ayu menguji penerapan program Wajib Belajar (WAJAR) 9 tahun (SD-SMP). 

Pada 2022, dana pendidikan Kabupaten Tangerang yang disalurkan oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAB) mencapai Rp1,7 triliun dengan rincian pengelolaan PAUD sebesar Rp34,9 miliar, SD Rp466,3 miliar, dan pengelolaan SMP Rp244,1 miliar. 

Tetapi nyatanya, alokasi besar itu berbanding terbalik dengan fakta Kabupaten Tangerang sebagai wilayah dengan angka putus sekolah tertinggi di Provinsi Banten, mencapai 22.194 pelajar pada 2022. 

“Aku cuma ingin pemerintah perhatian sama warga Dadap soal pendidikan. Caleg-caleg yang datang ke sini gak pernah mensosialisasikan program pendidikan, apalagi soal stunting, BKKBN gak turun langsung. Harusnya (kebijakan) itu dari bawah untuk bawah bukan dari atas untuk bawah,” kata Ayu. 

Alih-alih melihat stigma Gen Z Dadap yang lekat dengan perkawinan anak, putus sekolah, tawuran, pengangguran, pemabuk hingga prostitusi sebagai akibat dari absennya peran Pemerintah Kabupaten Tangerang, mereka malah menganggap sengkarut masalah itu sebagai sebab yang harus ditumpas. 

“Mereka hanya melihat negatifnya tapi di balik itu kami serba susah aksesnya,” lanjut Ayu.

Pesisir Takkan Terusir: Gen Z Dadap Merajut Simpul, Melawan Lupa

Aktivitas pemuda kampung Dadap menempelkan poster perhelatan Festival Dadap jelang penyelenggaraan acara. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)
Rapat persiapan Festival Dadap 2023 di Ruko Marina. Tempat ini adalah saksi bisu sejarah perlawanan penggusuran Kampung Baru Dadap pada tahun 2017. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Musik metal menghentak kencang dari sebuah pengeras suara di beranda ruko kosong. Deretan lagu memekik telinga itu, mengiringi 25 muda mudi Dadap yang tengah asyik mengeruk gundukan tanah kering berisi sampah plastik dan bebatuan. 

Kala itu, H-6 menuju Festival Dadap, para Gen Z bersuka cita menata kampung halamannya. 

Uang ribuan lecek keluar dari kantong Deddy dkk, untuk membeli air mineral untuk bersama seusai berbenah. 

“Kami selalu begini, dari awal FesDap sudah sepakat dananya serba patungan. Mau punya duit berapa banyak juga para politikus gak bisa nunggangin acara ini. Apalagi sampe minta slot pidato,” seloroh Deddy sambil meregangkan kaki. 

Sejak didirikan pada 2020, FesDap menjadi platform independen yang mengakomodir beragam ekspresi kreativitas Gen Z Dadap di bidang musik, tari, mural, teater, dan lainnya. Tak semata hiburan, mereka ingin ajang ini menyatukan generasi muda Dadap agar jika suatu hari monster itu datang kembali, mereka bulat tekad menolak penggusuran, hantu tanah, dan intrik oligarki lainnya. 

“Binatang aja bilang dulu kalau mau ngusir, ini maen hantem aja. Yang muda-muda pasti trauma kejadian 2016 itu, makanya sebelum kejadian lagi, kitanya harus kompak,” lanjut Gigi (35), inisiator FesDap lainnya. 

Meski kini terlihat solid, namun, awalnya perlu tenaga ekstra untuk membuat mereka satu suara. Karena harus diakui, tak semua warga kontra dengan pengembang. Beberapa tahun lalu, lewat dana Corporate Social Responsibility (CSR), pengembang mengadakan lomba futsal dan acara tradisi melarung sesaji ke laut untuk mengambil hati generasi muda Dadap. 

“Dalam tanding futsal itu malah saya pernah ngibarin bendera Dadap Belongs To Me, Nelayan Butuh Ikan Bukan Pembangunan’ sebagai protes kami pada pengembang,” kata Deddy. 

Berangkat dari pengalaman itu, mereka ingin perlawanan ini tetap lantang dan menyenangkan dalam waktu yang sama, jadilah seni sebagai medium yang mereka pilih untuk mendorong perubahan sosial. 

“Banyak yang bilang bandel dan memang benar ada yang gitu tapi jangan dipukul rata. Lewat FesDap ini kita mau buktiin anak-anak sini juga punya bakat kalau ada wadahnya. Selama ini gak ada yang fasilitasin,” ungkapnya.

Dari kiri) Pelaksana Festival Dadap, Dedy Sopian Priadi (26),Wintono (35), Ugi Jahari (26) dan Komala Ayu (23) berfoto dengan latar proyek tanggul laut di Kampung Baru, Dadap,Banten, 23 September 2023. Pada Januari 2020, sebuah kegiatan kesenian bernama Festival Kebudayaan Masyarakat Dadap digagas sebagai bentuk solidaritas bagi dua nelayan yang dikriminalisasi akibat menolak reklamasi dan pembangunan jembatan penghubung pulau reklamasi di pesisir Kamal Muara dan Pulau C pada Desember 2017. Acara tersebut berisikan pertunjukan musik, pencak silat breksi, dan pentas teater. Festival Dadap mengajak generasi muda Dadap untuk berkreasi dan bersikap kritis terhadap masalah disekeliling mereka, seperti penolakan reklamasi, penggusuran dan isu lingkungan. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Dengan modal seadanya hasil menjual cinderamata seperti kaos, poster, gantungan kunci, dan tas jinjing, mereka mampu mengongkosi festival yang berlangsung selama 27-28 Oktober 2023. 

Nur Khofifah (23) warga luar Dadap yang ikut dalam kepanitiaan tahun ini menyaksikan bagaimana kerasnya perjuangan kawan-kawannya untuk mempersiapkan acara dengan dana yang seadanya. 

“Mereka mempersiapkan ini dengan sangat rapi dan mau kasih yang terbaik untuk warga. Aku yakin ini efektif untuk bikin remaja Dadap bersatu. Kalau nanti ada percobaan penggusuran lagi, saya yakin muda mudi Dadap akan melawan bersama,” kata Nur. 

Generasi muda Dadap memadati Ruko Marina yang menjadi tempat pelaksanaan Festival Dadap. Ruko Marina menjadi saksi bisu sejarah pelawanan penggusuran Kampung Baru Dadap pada tahun 2017. Di tangan pemuda dan pemudi Dadap, ruko yang terbengkalai disulap menjadi ruang ekspresi dan ruang kreatif. (Project M – CC BY-NC-ND 4.0)

Sejak awal kemunculan FesDap di media sosial, beberapa seniman lintas-disiplin tanpa ragu ikut mendukung acara ini. Edi Bonetski, muralis asal Tangerang misalnya, yang terlibat sejak FesDap Vol 2 ini merasa perlu berpihak pada warga Dadap yang memperjuangkan haknya atas tanah. Lewat karya muralnya berjudul Ziarah Dadap, ia menyampaikan keberpihakannya pada yang dipinggirkan. 

“Ini peristiwa kultural berbasis kampung halaman pesisir. “Karya saya bercerita tentang pesisir yang harus diruwat dan dirawat. FesDap bagi saya adalah peristiwa kultural berbasis kampung halaman yang penting didukung,” serunya.

Karya seni mural dari Obdurate Clan 69 menjadikan dinding tembok ruko Marina yang terbengkalai menjadi ruang ekspresi bagi anak2 muda menuangkan pemikiran dan menyuarakan persoalan yang mereka hadapi. (Project M/Teresia May – CC BY-NC-ND 4.0)

Tak hanya keberpihakan, bagi Jeramiror alias Daenk Kafkah Alviary, musisi asal Rawa Saban, Tangerang Utara, menjadi penampil di FesDap adalah kebanggaan bagi dirinya sebagai sesama anak pesisir yang sering dianggap tak punya potensi. Di wilayahnya, ia pernah membuat Festival Seni Pesisir yang menghadirkan 99 persen seniman pesisir Jakarta dan mendatangkan 15 ribu penonton. 

“Setelah itu saya baru ditelpon pengembang, mereka yang tadinya nyinyir anak pesisir gak punya bakat malah mau sponsorin. Kita lawan stigma itu seperti FesDap ini,” katanya. 

Menyoal tema FesDap Vol 3: Pesisir Takkan Terusir, Daenk yang juga pernah diusir punya keterkaitan erat dengan nasib warga Dadap. 

“Rumah Daenk juga pernah digusur oleh pengembang. Alesannya mau dibuat rumah ibadah, akhirnya demi itu saya ngalah terhormat untuk dipindahkan tapi ternyata, itu akal-akalan mereka untuk buka jalan dan menggusur rumah lainnya,” kata Daenk. 

Daenk yang menyaksikan semua peristiwa traumatis itu, mengekspresikan amarahnya lewat lagu berjudul Hantu Tanah. Bagi Deddy ddk, lagu itu terasa amat relevan dengan nasib warga Dadap hari ini: status tanah tak diakui, krisis air bersih, rumah digusur tanggul, nafkah dirampas perumahan, laut dicemari limbah, rumah dilibas jalan tol, dan sengkarut masalah lainnya yang tak kunjung menemui titik cerah. 

“Lirik lagu saya yang keras pernah dibilangin, kamu bisa ditembak mati di atas panggung. Tapi saya bilang, kalau itu memang sudah jalannya, kenapa? Saya senang kalau lirik perlawanan saya menjadi semangat bagi teman-teman senasib yang sedang sama-sama berjuang,” kata Daenk sambil bersiap naik panggung. 

Daenk Kafkah Alvairy saat menyanyi di festival Dadap, 28 Oktober 2023. Karya musik Daenk kerap mengangkat isu sosial, terutama soal penyerobotan lahan di kawasan Banten yang ia alami sendiri di kampungnya. (Project M – CC BY-NC-ND 4.0)

***

Kita hidup di jaman seperti Orde Baru

Siapa yang brani melawan

Dibungkam dan berlalu

Hukum tak benar-benar memihak pada rakyat

Hukum diciptakan untuk memayungi keparat

 

Pembebasan lahan semakin tak terbendungkan

Alat berat diturunkan setiap perkampungan

Yang jadi tujuan pengembang bebaskan lahan

Dibangunnya beton-beton komplek perumahan

 

Rakyat ditipu dengan dalih kesejahteraan

Pemimpin diam-diam membuka lebar peluang

Investor masuk mulai menggusur tanah moyang

Anak cucu saling tusuk rebutkan jatah warisan

 

Atas nama pencemaran lingkungan

Perlawanan harus diciptakan

Atas nama pencemaran lingkungan

Jangan biarkan tanah moyang

Jatuh ke tangan tuan

***


Laporan ini adalah bagian dari serial reportase #UnderprivilegedGenZ. Serial ini didukung oleh Kawan M

Cerita foto ini menggunakan lisensi CC BY-NC-ND 4.0.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Adrian Mulya & Ronna Nirmala
20 menit