Omongan Politikus Tentang Gen Z dan Milenial Itu Cuma Gimik

Ilustrasi gimik politisi terhadap generasi muda. (Project M/Herra Frimawati)

Setiap menjelang tahun politik, generasi muda selalu jadi rebutan para politikus. Caper pada generasi muda salah satunya dilakukan dengan menyandingkan para calon presiden atau wakil presiden dengan karakteristik generasi tersebut.

Menjelang pemilu 2019, Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang mengatakan, “Ma’ruf Amin itu Milenial juga, dan Milenial itu bukan masalah umur [tapi] masalah perbuatan, sikap”. Jokowi juga sempat disebut Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai “Kreatif … kan, sesuai nature kelompok Milenial”, lalu Sandiaga Uno yang dikomentari Presiden PKS Sohibul Iman sebagai “…santri abad Milenial”.

Hal yang wajar bila kelompok Milenial paling diincar menjelang Pemilu 2019. Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelompok Milenial diproyeksi sebanyak 23,77 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 268 juta jiwa. Artinya, hampir seperlima penduduk di Indonesia adalah kelompok Milenial. Kelompok Milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996.

Dengan demikian tak mengherankan apabila Generasi Z (Gen Z) sebagai calon pemilih muda berikutnya juga menjadi incaran politikus di tahun politik 2024. Terlebih, kelompok ini mendominasi mayoritas penduduk Indonesia saat ini dengan persentase sebesar 27,94 persen dari populasi penduduk. Gen Z adalah mereka yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012, menurut BPS. Sementara kelompok Milenial jadi kelompok usia terbanyak kedua, yakni 25,87 persen.

Dalam tulisan ini kami tidak menggunakan persentase pemilih muda dari KPU, yakni usia 17-39 tahun yang mencapai 55 sampai 60 persen sebab jangkauan usia tersebut terlalu lebar. Kami juga berpikir, mereka yang berusia 35-39 tahun barangkali enggan dialamatkan sebagai pemilih muda seperti mereka yang berusia 17 tahun.

Menjelang Pemilu 2024 gimik-gimik untuk menggaet Gen Z pun mulai bertebaran. Survei Litbang Kompas pada Januari 2023, Gen Z disebut tidak ingin menjadi kelompok yang antipati terhadap proses pemilu dan ada antusiasme yang relatif terjaga untuk memberikan suara pada Pemilu 2024. Mereka juga diproyeksikan tidak ingin golput, hanya 0,6 persen dari responden Gen Z yang disebut ingin golput.

Survei yang sama juga menanyakan kandidat calon presiden dan juga partai politik pilihan Gen Z. Dari sana diketahui, sebanyak 28,8 persen memilih Ganjar Pranowo dan sebanyak 19,5 persen memilih PDI-P. Pada survei Kompas, responden Gen Z dikategorikan berusia 17-26 tahun.

Namun sepertinya terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Gen Z tidak akan golput dan sudah menentukan pilihan pada figur politik atau parpol tertentu.

Selain survei, politikus juga caper dengan berusaha menasihati anak muda. Misalnya Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY yang memperingatkan agar anak muda tidak boleh dimanja. Hal ini dilakukan demi mewujudkan cita-cita Indonesia emas di tahun 2045.

Pernyataan AHY itu disampaikan dalam pidato kebangsaan memperingati 50 Tahun CSIS Indonesia. AHY menyampaikan, “Anak muda tidak boleh dimanja, apalagi disiapkan karpet merah”.

Di saat yang sama pada 2019, AHY kerap mengunggah pemberitaan mengenai kedekatannya dengan generasi Milenial. Barisan pendukung AHY untuk maju Pilpres 2019, diklaim berisi kalangan Milenial. Akun Instagram AHY juga kerap mencitrakan diri sebagai pemuda profesional, mengenakan kemeja slim fit, suka berolahraga, hingga bernyanyi.

Masih banyak komentar-komentar pejabat menyindir anak muda yang kami temukan. Misal, komentar Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyinggung soal keberadaan anak muda yang lebih suka membuat perselisihan daripada persatuan, (masih) Megawati yang meminta Jokowi tak memanjakan Milenial dan juga mempertanyakan sumbangsih mereka bagi bangsa, Erick Thohir yang menantang generasi muda untuk ikut ambil bagian dalam pembangunan Indonesia, hingga Sri Mulyani yang pernah ingatkan Milenial untuk menabung ketimbang jajan kopi.

Komentar para politikus tersebut seolah melupakan situasi dan kondisi besar yang melatarbelakangi sikap anak muda. Apakah Bu Mega luput melihat perjuangan anak muda kelas pekerja yang setiap harinya hidup dari gaji mepet UMR? Menurut data BPS rata-rata anak muda dengan usia 20 hingga 29 tahun memiliki penghasilan antara Rp2 juta hingga Rp3 juta saja untuk pekerjaan seperti teknisi, tata usaha, tenaga jasa, dan penjualan/sales.

Selain itu banyak pula anak muda harus melakukan lebih dari satu pekerjaan untuk menyambung hidup (hustle culture), sebagian bahkan boro-boro memikirkan masa depan dan jaminan hidup di hari tua, memikirkan bagaimana bertahan hidup setiap bulannya saja sudah kelimpungan.

Ketika Bu Mega bertanya soal sumbangsih anak muda bagi bangsa Indonesia, apakah juga menyadari bagaimana kondisi anak muda hidup di tengah inflasi, penanganan pandemi Covid-19 dari pemerintah yang melupakan rakyatnya alias survival of the fittest, persaingan dalam mencari kerja, aturan-aturan yang mengekang dari Pemerintah seperti UU Ciptaker dan RKUHP, dan pengekangan hak-hak kelompok minoritas?

Lagi pula, tentu anak muda lebih senang bekerja dari rumah karena tak mesti menghadapi macet di Jakarta, polusi udara, berdesakan naik transportasi umum, biaya transportasi yang tidak murah, serta keamanan ketika di jalan. Lalu, mengapa harus selalu mempermasalahkan jajan kopi ketika itu adalah sumber energi untuk bekerja, atau kebahagiaan instan sehari-hari? Toh, absen membeli kopi juga tidak jadi jaminan bisa membeli rumah.

Memahami Generasi Z

Komentar para politikus tersebut menunjukan bahwa ada keterbatasan pengetahuan tentang generasi muda, khususnya Gen Z. Padahal sangat penting untuk mempelajari karakter Gen Z sebelum bicara tentang mereka. Pada tahun 2017, Aulia D Nastiti, mahasiswa PhD di Northwestern University, Amerika Serikat, menuliskan tentang aspirasi dan perilaku politik generasi ini. Menurut penjelasannya, Gen Z adalah digital native angkatan pertama di Indonesia, terutama yang lahir di kota-kota besar. Konsumsi informasi mereka dilakukan lewat media sosial, yang juga menjadi referensi sekaligus alat partisipasi dalam diskursus publik.

Mereka juga melakukan banyak aksi yang diinisiasi oleh individu, bukan organisasi. Contohnya, banyak angkatan yang lebih tua dari Gen Z (kelahiran 1997-2002) yang pernah menginisiasi gerakan lewat media sosial. Mereka jadi social influencer lewat Instagram atau TikTok, menghimpun dana lewat Kitabisa.com, mengajukan petisi via Change.org, menulis gagasan lewat thread Twitter, hingga menyebarkan meme untuk menggambarkan situasi politik.

Pada September 2019, Karin Novilda atau Awkarin seorang influencer media sosial tiba-tiba muncul di aksi demo mahasiswa Jakarta untuk menolak RKUHP. Awkarin datang ke tengah massa demo untuk membagikan 3.000 nasi kotak yang ia bawa. Selain membagikan makanan, Karin juga menulis pendapatnya soal RKUHP yang ditolak oleh para mahasiswa di berbagai kota. Itu adalah contoh bagaimana Gen Z bertindak.

Riset dari Jalli et al., (2021) tentang Generasi Z sebagai social influencer juga menarik untuk dipahami. Riset tersebut berusaha memahami aktivisme yang dilakukan Gen Z di Indonesia, Malaysia, dan Filipina lewat TikTok. Penulis memetakan apa yang ingin disampaikan Gen Z Indonesia lewat tagar #tolakomnibuslaw, #mositidakpercaya, #tolakruuciptakerja, #omnibuslaw, dan sebagainya pada Oktober 2020. Ia juga melakukan wawancara dengan beberapa influencer TikTok yang mendulang klik dan pengikut lewat unggahan terkait Omnibus Law, atau saat ini dikenal dengan UU Cipta Kerja.

Menariknya, meski unggahan TikTok dari Indonesia mendulang klik dan share yang lebih banyak dibanding Malaysia dan Filipina, tidak semua influencer benar-benar mengikuti isu politik. Beberapa dari influencer yang diwawancara mengatakan mereka hanya mengikuti trend saja, ada pula yang mengikuti demo dan membuat konten agar terlihat relevan bagi para pengikutnya, atau untuk mendapat pengikut dan menjadi viral. Meski beberapa dari influencer juga mengatakan bahwa mereka jadi belajar isu-isu politik dari membuat konten.

Sikap politik seperti yang dijelaskan Jalli et al., (2021) ini menarik untuk direfleksikan. Aulia Nastiti juga mengatakan bahwa komunitas Gen Z ini layaknya imagined communities, mereka tidak saling mengenal, tetapi terkoneksi lewat akun media sosial —entah karena ingin mencontoh atau mengkritik. Hanya saja, aksi politik mereka (dalam arti luas, termasuk status dan komentar) cenderung didasari bukan oleh bingkai ideologi atau ikatan kebangsaan, tetapi preferensi personal yang pragmatis.

Masih mengenai pandangan politik Gen Z, riset British Council terhadap 3.093 anak muda berusia 16 sampai 35 tahun yang dilakukan antara Maret hingga Juli 2022 menemukan bahwa anak muda sebenarnya tidak apatis terhadap politik, melainkan frustrasi. Persepsi anak muda terhadap pemerintah terbagi antara mereka yang menganggap pemerintah telah efektif (sepertiga dari responden) dan mereka yang tidak menganggap demikian (sepertiga dari responden). Sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah suatu hal yang menurut anak muda tertanam dalam sistem politik bangsa Indonesia dan mereka ingin masalah ini serius ditangani.

Ilustrasi gimik politisi terhadap generasi muda. (Project M/Herra Frimawati)

Survei yang sama juga menemukan anak muda lebih memperhatikan figur politik ketimbang partai politiknya, meski mereka memiliki kepercayaan yang rendah terhadap pemerintah. Sebanyak 17 persen responden mengatakan mereka akan mengikuti politik jika ada politikus yang dapat dicontoh karakternya. Namun di sisi lain, hal ini turut jadi masalah. Sebab anak muda cenderung melihat karakter politikus ketimbang agenda politiknya.

Itu baru karakter politiknya saja. Beragam studi juga berupaya menggambarkan Gen Z secara general. Misalnya mereka yang digambarkan melek teknologi, mengikuti trend, aktif berkomunitas, atau fasih menggunakan Bahasa Inggris. Hanya saja, riset-riset semacam ini bisa jadi melewatkan kelompok Gen Z yang jarang dibicarakan media/publik.

Riset dari UMN Consulting yang dipresentasikan pada Februari 2022 menggambarkan Gen Z sebagai generasi yang ingin memiliki karier gemilang, tinggal di rumah layak, memiliki kehidupan pernikahan yang bahagia; mengisi waktu luang di mal dan kedai kopi, belanja online, serta hobi mencoba kuliner baru.

Riset dari Tim Penelitian Pusat Karir di Universitas Andalas dan Tanoto Foundation pada 2021 menemukan Gen Z sebagai generasi yang punya rasa percaya diri tinggi hingga mampu mendapatkan pekerjaan idaman meski persaingan kerja semakin ketat, sering gonta-ganti pekerjaan, mereka yang memiliki pengalaman relevan dengan bidang pekerjaan, keterampilan sesuai kebutuhan industri, dan bisa melalui sesi wawancara kerja dengan baik.

Sayangnya riset-riset ini kerap melupakan Gen Z yang tidak tinggal di perkotaan, mereka yang tidak punya privilese terhadap akses teknologi atau akses untuk belajar bahasa asing. Riset marketing itu juga melupakan Gen Z yang tersandung masalah ekonomi, yang mana sebagian dari mereka harus jadi tulang punggung keluarga, dan bagi mereka pendidikan tidak selalu menjamin untuk mendapat pekerjaan layak. Gen Z ini juga jauh dari karakter yang dibayangkan para politikus, yaitu manja dan konsumtif.

Serial liputan #UnderprivilegedGenZ Project Multatuli berusaha menggambarkan kelompok Gen Z ini. Ada Gen Z yang tinggal di calon ibu kota Indonesia, ia kerja serabutan, punya cicilan yang menumpuk, dan terancam penggusuran karena proyek Ibu Kota Negara (IKN).

Ada lagi Gen Z yang tinggal di Kampung Kota Jakarta; mereka putus sekolah, jadi pekerja anak, dan tulang punggung (breadwinner) bagi keluarganya. Belum menyebut Gen Z yang jadi kelompok minoritas, queer misalnya. Mereka memilih keluar dari rumah karena rumah bukanlah ruang yang aman bagi identitas seksualnya. Ada pula Gen Z yang tidak bisa keluar dari lubang hitam burnout.

Tentu akan lebih adil jika survei-survei yang disebutkan sebelumnya juga menyilangkan hasil temuan dengan demografi responden; seperti kota domisili Gen Z, pekerjaan mereka, penghasilan per bulan, atau apakah mereka masih bergantung pada orang tua. Kesimpulannya, apa yang digambarkan tentang Gen Z tidak selalu seperti omongan politikus atau riset-riset populer.

Mengapa demikian? Sebab Survei Angkatan Kerja Nasional BPS pada Agustus 2022 menyebutkan terdapat 3,7 juta orang atau 43,98 persen pengangguran dari kelompok usia 20 hingga 29 tahun, alias mereka yang berusia produktif. Sebagian besar di antaranya adalah Gen Z.

Laporan Statistik Pendidikan BPS tahun 2022 juga menunjukkan angka putus sekolah yang cukup tinggi pada mereka yang berusia 16 hingga 18 tahun, yakni sebesar 22,52 persen. Kategori usia ini merupakan Gen Z angkatan muda.

Gen Z juga lebih sadar terhadap isu kesehatan mental dan mereka juga rentan mengalami masalah ini. Sayangnya, yang sering diangkat dari isu kesehatan mental adalah perdebatan lintas generasi, lalu menyimpulkan bahwa Gen Z tidak sekuat pendahulunya. Padahal perdebatan macam itu tidak menyelesaikan masalah, juga tidak melihat kondisi kehidupan yang dialami tiap generasi.

Permasalahan yang sama juga terjadi di Amerika. Seperti dibahas Derek Thompson dalam artikelnya di The Atlantic, Amerika Serikat sedang mengalami krisis kesehatan mental remaja yang ekstrim. Dari 2009 hingga 2021, jumlah siswa sekolah menengah Amerika yang mengatakan bahwa mereka merasakan “perasaan sedih atau putus asa yang terus-menerus” meningkat dari 26 persen menjadi 44 persen, menurut studi CDC. Ini adalah tingkat kesedihan remaja paling tinggi yang pernah tercatat.

Survei pemerintah Amerika terhadap hampir 8.000 siswa sekolah menengah, yang dilakukan pada 2021, menemukan banyak variasi kesehatan mental di antara kelompok remaja. Lebih dari satu dari empat anak perempuan menyatakan mereka mempertimbangkan untuk mengakhiri hidupnya selama pandemi, angka ini tercatat dua kali lipat dibandingkan anak laki-laki. Hampir setengah dari kelompok LGBTQ mengatakan bahwa mereka pernah berpikir untuk bunuh diri selama pandemi, dibandingkan dengan rekan heteroseksual sebanyak 14 persen.

Menurut penjelasan Derek, banyak faktor menyebabkan kesedihan ini. Kehidupan sehari-hari yang bikin stress, tiap hari ada saja kabar buruk dari berita. Selain itu, remaja juga mesti memikirkan keamanan diri, padahal mereka masih sangat muda. Isu seperti penyalahgunaan senjata tajam, krisis iklim, serta permasalahan politik dan sosial juga seperti jadi tanggung jawab mereka sebagai generasi penerus.

Selain itu, generasi muda juga lebih banyak menggunakan media sosial dimana mereka terekspos tidak hanya pada informasi, tapi juga perundungan, ancaman, pembicaraan tentang kesehatan mental yang mengkhawatirkan, dan masih banyak masalah global yang tidak terpecahkan.

Apa yang Dibutuhkan Anak Muda?

Survei dari British Council mencatat isu pendidikan sebagai isu utama yang dipedulikan anak muda. Mereka juga berharap mengharapkan peningkatan kualitas pendidikan dalam lima tahun ke depan. Menurut anak muda, pendidikan formal sangat penting untuk memperkuat karakter, menanamkan moral, dan mengembangkan identitas bangsa.

Ironisnya, kurang dari setengah responden yang mengatakan bahwa pendidikan membantu mereka secara praktis dalam mempersiapkan diri untuk jenjang kehidupan selanjutnya (40 persen), atau untuk bekerja (36 persen).

Hal ini juga disebut oleh penelitian yang dilakukan sekelompok peneliti dari Indonesia dan Australia terhadap pemuda di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Mereka berusaha menangkap pengalaman pemuda berusia 20 hingga 34 tahun yang dilakukan dari 2010 hingga 2018.

Dari penelitian ini, salah satu temuan pentingnya hanya sedikit responden dengan kualifikasi SMA/MA dan berpenghasilan rendah saat awal penelitian dan kemudian melanjutkan pendidikan tersier dalam periode tiga tahun selama penelitian. Menurut peneliti, hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan lanjutan bukan menjadi cara yang memungkinkan untuk keluar dari belenggu pengangguran.

Penelitian yang berlangsung selama delapan tahun itu berusaha mendokumentasikan pengalaman-pengalaman para pemuda yang tengah menjalani transisi kehidupan seperti menyelesaikan pendidikan formal, mencari pekerjaan pertama, tinggal jauh dari rumah orang tua, menikah dan memiliki anak.

Penelitian berjudul ‘Milenial Yang Lain’ ini menunjukkan perbedaan yang tajam terkait gambaran milenial perkotaan yang digadang-gadang politikus. Penelitian ini menemukan sangat sedikit responden yang bekerja di sektor teknologi ataupun miliarder muda dengan usaha rintisan mereka (start up) yang sukses. Faktanya, sebagian besar responden tidak mengenyam pendidikan tersier dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Penelitian ‘Milenial Yang Lain’ memang tidak spesifik berfokus pada Generasi Z. Namun, kami menilai penting untuk mengevaluasi bagaimana pendidikan, yang menjadi tanggung jawab pemerintahan di periode itu, telah berdampak terhadap generasi tersebut selama periode 8 tahun.

Lantas, bagaimana peran partai politik dan politikus terhadap kebutuhan generasi selanjutnya?

Kami melakukan observasi lewat visi misi serta program beberapa partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju untuk menilai bagaimana program partai bisa mengakomodasi kebutuhan generasi muda. Tapi barangkali kita bakal butuh satu tulisan tersendiri hanya untuk mengomentari program dan visi misi partai.

Pada laman partai utama pengusung Presiden Jokowi, PDI Perjuangan, kami menemukan tujuan dan visi misi yang dijelaskan dengan baik dan runut. Namun, kami juga melihat tujuan dan visi misi ini terlalu sederhana dan tidak mengalamatkan secara jelas persoalan negara saat ini. Misal, pada tujuan khusus partai “membangun semangat, mengkonsolidasi kemauan, mengorganisir tindakan dan kekuatan rakyat, mendidik dan menuntun rakyat untuk membangun kesadaran politik…”, jika kita mengarahkan konteks tujuan ini pada aksi menolak RUU Ciptaker atau demo penolakan RKUHP beberapa waktu silam, kesadaran politik masyarakat justru terbangun atas kesadaran untuk menolak agenda politik pemerintah.

Satu lagi, jika dilihat pada tujuan PDIP selanjutnya, partai masih punya banyak pekerjaan rumah lewat tujuan ini: “memperjuangkan hak rakyat atas politik, ekonomi, sosial dan budaya, terutama demi pemenuhan kebutuhan absolut rakyat, yaitu kebutuhan material berupa sandang, pangan, papan dan kebutuhan spiritual berupa kebudayaan, pendidikan dan kesehatan”. Apa indikator pencapaian tujuan ini? Bagaimana menilai kebutuhan absolut rakyat yang dimaksud?

Laman-laman partai yang kami kunjungi lainnya; Partai NasDem, PSI, dan Golkar juga tidak merincikan secara jelas bagaimana mereka hendak mewujudkan visi dan misi partai yang sebetulnya mengawang-awang dan tidak mengalamatkan situasi dan kebutuhan utama masyarakat saat ini.

Pada 2018, penelitian ‘Milenial Yang Lain’ menunjukkan kekecewaan yang mendalam dari generasi muda terhadap politik. Ketika pemilu 2014 diselenggarakan untuk mencari pemenangan antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto, 86 persen responden anak muda menyatakan mereka tidak tertarik dalam politik; 50 persen setuju bahwa pemerintah Indonesia tidak lagi dapat dipercaya; dan 23 persen merasa tidak yakin.

Penelitian yang sama menyimpulkan bahwa politikus tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap perjuangan sehari-hari para pemuda. Hal itu digambarkan dengan rendahnya tingkat kepedulian pemuda dan kecurigaan terhadap politikus. Baru-baru ini, seorang politikus PDIP tidak tahu bedanya antara kereta api jarak jauh dengan commuterline dan dengan ignorant menganggap penumpang kaos di kereta hanya terjadi pada momen-momen tertentu, seperti lebaran dan tahun baru. Jika begitu, bagaimana kita bisa yakin bahwa mereka yang duduk di kursi DPR sana benar-benar peduli pada rakyat.

Tulisan ini berusaha menggambarkan pandangan politik generasi muda dan isu-isu/kondisi mereka yang kerap luput dari observasi politikus atau rangkulan program partai politik. Barangkali, hasil kurasi dari berbagai penelitian ini bakal tiba-tiba diseriusi oleh para politikus dan partai politik hingga mereka membombardir kita semua dengan janji-janji politik untuk 2024 atau bisa juga dianggap angin lalu saja.

Bisa jadi generasi muda kembali kecewa terhadap politikus dan partai politik dalam kontestasi politik tahun depan, sebab masih terbuka kemungkinan omongan dan janji mereka untuk generasi muda hanyalah gimik untuk menarik perhatian dan bukannya ketulusan untuk mengusahakan kehidupan yang lebih baik.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!