Menembus Kegelapan: Kisah Pemuda Disabilitas Netra Menjadi Lentera bagi Sesama 

Ricky Yudhistira
6 menit

Suara adalah perkakas utama bagi seorang disabilitas netra untuk memandu kehidupannya sehari-hari, baru kemudian tongkat, rabaan, dan penciuman. Suara bagi seorang sound designer ibarat cat minyak bagi seorang pelukis untuk menggambar di atas kanvas. Lalu bagaimana jika seorang disabilitas netra dan sound designer berkolaborasi?


Visi penataan kota yang berpihak pada para disabilitas masih belum banyak ditemukan. Di kota-kota besar, keberadaan guiding block sebagai panduan bagi orang dengan disabilitas netra berjalan di pedestrian sudah banyak ditemui. Namun, di kota kecil, hal itu belum jadi prioritas.

Dengan kebisingan jalan raya, berjalan di trotoar tanpa guiding block dapat membawa malapetaka bagi orang dengan disabilitas netra. Belum lagi trotoar yang diokupasi untuk berbagai kepentingan niaga dan usaha.

Pandu, seorang pemuda disabilitas netra asal Kota Kediri di Jawa Timur, baru benar-benar menyadari ancaman keselamatan tersebut saat melakukan sound walk, aktivitas berjalan kaki dengan fokus mendengarkan lingkungan sekitar.

Pandu tidak terlahir buta.

Pada 2013, pemuda asal Mojoroto, Kediri, itu mengalami kebutaan permanen karena kerusakan syaraf mata atau glaukoma. Usianya saat itu baru 20 tahun. Mata kanannya sudah lebih dulu rusak sejak setahun sebelumnya. Dokter sudah memprediksi mata kirinya akan menyusul, cepat atau lambat.

Hari itu datang juga. Di sebuah pagi pertengahan 2013, saat Pandu membuka mata pertama kali hanya kabut yang terlihat. Ia menutup mata kembali, membuka mata, menutup mata, membuka mata, berkali-kali.

Saat itulah ia sadar, inilah hari yang telah ia persiapkan. Namun sebenarnya siapa yang siap untuk tidak bisa melihat apa-apa? Semua warna di dunia, keindahan dan keburukannya, yang selama 20 tahun begitu terang benderang terlihat lalu tiba-tiba sirna?

Pandu menutup telinga sebelum memakai headset dan menggunakan alat perekam di Jembatan Lama Brantas, Kota Kediri, Jawa Timur. Sebagai disabilitas netra, indra pendengaran Pandu lebih tajam dari manusia normal sehingga ia perlu membiasakan telinganya dengan alat perekam yang juga memiliki sensitivitas tinggi. (Project M/Arief Priyono)
Pandu membawa alat perekam suara dan kamera GoPro yang dipasang di bagian dada saat melakukan sound walk di Jl. Dhoho, Kota Kediri, Jawa Timur. (Project M/Arief Priyono)
Pandu hampir menabrak separator jalan saat melakukan ativitas sound walk di Jl. Brawijaya, Kota Kediri, Jawa Timur. (Project M/Arief Priyono)
Kepala Pandu hampir menabrak tangga besi saat melakukan sound walk di Hutan Kota Joyoboyo, Kota Kediri, Jawa Timur. (Project M/Arief Priyono)

Pandu mengurung diri dalam kamarnya selama tiga hari.

Bahwa akhirnya ia tidak menyerah untuk melanjutkan kehidupan, menurutnya, karena Tuhan memberikan kebutaan tersebut sebagai anugerah. Ia telah berdamai dengan hatinya dan memutuskan untuk mulai beradaptasi dengan kondisinya.

Ia kemudian menjadi juru pijat. Bermusik menjadi pekerjaan sampingan.

Ia menolak dikasihani. Ia sedang memperjuangkan rumah singgah untuk kawan-kawan sesama disabilitas netra. Ia berencana menjadikan rumah pribadinya jadi tempat singgah. Ada tiga kamar yang bakal disiapkan. Berbarengan dengan itu, ia juga bersiap mendirikan yayasan.

Namun, 11 Juni 2022, ayahnya meninggal dunia karena sakit. Uang tabungan untuk pendirian rumah singgah terpakai mengurus pemakaman dan hal-hal lain setelah kepergian ayahnya.

Pandu menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya tidak punya penghasilan. Kakak pertamanya mempunyai Down syndrome, sementara kakak keduanya hidup di luar kota.

Pandu tak ingin mengubur mimpinya.

Perlahan ia kembali mengumpulkan modal semampunya. Tiga kamar yang sedianya dijadikan tempat singgah, ia ubah jadi kamar kos. Sembari meneruskan jasa pijat, ia juga membuka warung pecel di teras rumahnya dan berjualan barang-barang produksi teman disabilitas.

Pandu berlatih keyboard di rumahnya, Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur. (Project M/Arief Priyono)
Pandu (duduk bersila, tengah), bersama rekannya, Jeppi (kiri), mengamen organ tunggal pada akhir pekan di bantaran Sungai Brantas, Kota Kediri, Jawa Timur. Setiap sore di akhir pekan, bantaran sungai itu dipenuhi muda-mudi menikmati pemandangan sungai sambil makan dan minum dari angkringan. (Project M/Arief Priyono)

Pandu mulai menyadari kotanya tidak ramah terhadap disabilitas pada 2019, tiga tahun setelah ia merantau ke Malang untuk mengikuti pelatihan di UPT Rehabilitasi Sosial Bina Netra milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.

Menampung aspirasi dari para disabilitas, ia menyuarakan penerbitan peraturan daerah tentang disabilitas agar tata kelola kota menjadi berpihak pada mereka. Ia kritis pada bantuan-bantuan sosial yang melulu karitatif ketimbang transformatif. Menurutnya, model bantuan perlu ditinjau dan dirancang ulang agar menjadi program berkelanjutan yang jelas dan terukur sehingga kelompok disabilitas mandiri dan berswadaya.

Keprihatinan para disabilitas yang ia sampaikan pada Dinas Sosial Kota Kediri dalam berbagai kesempatan membentur tembok. Di tengah kebuntuan, ia bertemu seorang pegawai dinas sosial yang menunjukkan kepedulian dan membantunya untuk menyampaikan masukan-masukan untuk penyusunan perda disabilitas.

Hanya saja hingga kini, perda tak kunjung disahkan.

Kegigihan Pandu juga membawanya pada profesi baru sebagai sound designer dalam proyek kolaborasi Sadar Suara yang diusung kegiatan kolektif Panjalu Pictures dan Audionails di Kediri. Melalui proyek ini, Pandu mempelajari aktivitas sound walk, soundscaping, dan sound recording yang bisa membantunya membuat komposisi di studio.

Menurut Navis Hamami dari Audionails, Pandu sudah terbiasa dengan digital audio workstation (DAW) Reaper karena memang memiliki fitur screen reader NVDA (NonVisual Desktop Access).

Di luar itu, Pandu memang membutuhkan waktu belajar dan membutuhkan peralatan seperti digital mixer controller agar tidak hanya bergantung pada NVDA. Nyatanya, menjadi seorang sound designer atau recorder mixer di dalam dunia digital recording dan film post-production terbuka untuk disabilitas netra seperti Pandu.

Navis Hamami menuntun tangan Pandu memainkan midi controller untuk kebutuhan sound designer di studio Audionails. (Project M/Arief Priyono)
Pandu didampingi Navis Hamami belajar membuat music scoring di studio Audionails. (Project M/Arief Priyono)
Dengan gitar, Navis Hamami (kiri) mengiringi Pandu bermain biola di studio Audionails. (Project M/Arief Priyono)

Pandu menjadi saksi bahwa disabilitas netra tidak membuatnya kehilangan gairah dan bakat bermusik. Kebutaan justru menggiringnya pada kepekaan menangkap suara. Dengan panduan dan lingkungan yang mendukung, berbagai kemungkinan dan kesempatan bisa diraih.

Optimisme, kemauan belajar, kemampuan komunikasi, dan keinginan berbagi pun menular pada kawan-kawan disabilitas netra dan disabilitas lainnya. Pandu, seperti namanya, seolah menjadi lentera yang memandu mereka dalam kegelapan.

Alat sound recording Pandu siap digunakan di areal Taman Brantas untuk merekam suara Sungai Brantas, Kota Kediri, Jawa Timur. (Project M/Arief Priyono)
Navis Hamami merekam suara santri mengaji dengan nada Jawa, sementara Pandu menjadi sound mixer untuk memastikan kualitas perekaman, di Kediri, Jawa Timur. (Project M/Arief Priyono)

 

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Ricky Yudhistira
6 menit