Perempuan ‘Pemulung Modern’ di Jawa Timur: Memilah dan Mengelola Sampah Atas Nama Kerja Sosial

Fahri Salam
19 menit
Para perempuan penggerak bank sampah di Jawa Timur, dari kiri ke kanan: Reni Anggraeni di Sidoarjo, Nurul Hasanah (humas Bank Sampah Induk Surabaya), seorang ibu pemilah sampah di TPA Sidoarjo, dan Denik Arie Wahyuni (inisiator Bank Sampah Wani di Kelurahan Tanjung Perak, Surabaya). (Project M/Muni Moon)

Para perempuan inisiator bank sampah di Jawa Timur percaya tidak ada sampah yang tidak bisa diolah. Demi lingkungan, mereka mengorbankan waktu dan tenaga sambil menanti dukungan nyata.


DUDUK DENIK ARIE WAHYUNI (47) tak pernah tenang. Selama dua jam wawancara, ia berkali-kali bangun menerima tamu dan menjawab pesan di ponselnya.

Hari itu keramik di salah satu kamar sedang diperbaiki. Debu dan pekerja bangunan lalu-lalang di ruang tamu, yang juga disesaki lemari, kursi, meja komputer, kantong filter tembakau sampai tumpukan pupuk.

“Ya, begini ini, di rumah campur-campur, ada barang-barang bank sampah, gudang, kantor, tempat tinggal, semua jadi satu. Saking nggak ada tempat lagi,” kata Denik.

Tiga anak Denik tidur bersama di kamar utama di lantai bawah, yang hari itu keramiknya diperbaiki. Di lantai dua, ada empat kamar; tiga kamar disewakan untuk kos-kosan. Satu kamar lain untuk penyimpanan maggot, belatung pengurai sampah organik untuk pembuatan pupuk.

Sudah hampir tiga tahun, Denik bergerak mengumpulkan, memilah, dan mengolah sampah bersama warga pengurus RT di Kelurahan Tanjung Perak (sebelumnya bernama Kelurahan Perak Utara, Surabaya). Ia adalah salah satu pendiri dan ketua dari kegiatan kolektif yang diberi nama Bank Sampah Wani.

“Pokoknya semangatnya kayak Bonek, wani!” katanya.

Penunjukan Denik sebagai ketua karena ia paling vokal dan bersemangat di antara warga lain yang nyaris menyerah dengan wacana ini. Padahal, ia sudah sibuk bekerja sebagai pengawas di perusahaan kontraktor dan mengurus keluarga.

Kampung asri dan bersih dampingan warga Bank Sampah Wani di Kelurahan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur (Project M/Muni Moon)

Kehadiran bank sampah itu berawal dari keinginan rukun warga mengikuti lomba Desa/Kelurahan Berseri (Bersih, Sehat, Lestari) Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Manajemen bank sampah yang rumit, sejak menyusun pengurus, gudang, hingga imbal balik yang tidak jelas, membuat warga kurang tertarik.

“Tapi, saya ini orangnya memang keras. Kalau memang syaratnya itu, ya, kenapa nggak dicoba dibuat dulu? Nah, waktu itu saya langsung ditunjuk jadi ketua. Hmm.. ya, ora opo-opo, tapi sing jadi pengurus bojone kalian, yo!” kata Denik membalas bapak-bapak pengurus RT.

Namun, permintaannya sulit jadi kenyataan. Para bapak pengurus RT gagal membujuk istri mereka bergabung mendirikan bank sampah. Dari belasan pengurus RT, hanya ada empat ibu yang bersedia membantu Denik.

Tapi, belum lama berjalan, satu pengurusnya mundur.

“Yang satunya ini mikir dia butuh duit buat nambah-nambah kebutuhan karena memang dia nggak terlalu mampu. Ya wajar juga, namanya ini memang kerja sosial,” kata Denik.

Denik bersama tiga ibu pengurus lain mencari tahu via mesin pencari Google untuk segala hal tentang kegiatan pemilahan sampah. Mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman tentang bank sampah. Mereka belajar cara-cara mendirikan bank sampah dari layanan pendampingan manajemen sampah Bank Sampah Induk Surabaya (BSIS).

* * *

Sebagai modal awal, tim kecil Bank Sampah Wani meminjam Rp500 ribu dari kas RT untuk membeli timbangan, karung, dan alat tulis kantoran. Untuk gudang, warga setuju menyisihkan sebagian ruang kecil yang biasa dijadikan tempat penyimpanan aset RT.

Denik dan tim mulai mengumpulkan sampah di tingkat RT. Ketika itu, pengumpulan terbatas pada barang-barang yang bisa dijual dengan harga lumayan.

“Botol plastik seperti Aqua itu kita terima. Tapi nggak terima sama labelnya, nggak laku karena katanya nggak bisa didaur ulang. Kita juga terima kardus-kardus dan kertas,” kata Denik.

Keterbatasan tenaga dan waktu para pengurus membuat proses pengumpulan hanya dilakukan sekali sebulan. Setelah terkumpul, sampah kemudian dipilah.

“Nah, di sini bapak-bapak pengurus RT ikut bantu. Nggak bisalah kalau perempuan semua angkat-angkat. Jadi, misalnya suami saya itu sekretaris RT, di bank sampah dia  di bagian pemilahan.”

Sampah yang sudah dipilah lalu dijual ke Bank Sampah Induk Surabaya. Dari sekitar puluhan kilogram sampah yang terkumpul, mereka dapat keuntungan antara Rp20 ribu – Rp50 ribu. Uang itu pun harus dikumpulkan untuk membayar utang modal awal ke kas RT.

Tumpukan botol plastik bekas yang sudah ditimbang dan siap didaur ulang di Bank Sampah Induk Surabaya, Jawa Timur. (Project M/ Muni Moon)

Meniru sistem perbankan, bank sampah mengajak warga menabung barang bekas untuk selanjutnya dijual. Hasil penjualan kemudian disimpan dalam kas bank sampah, yang bisa dicairkan  setiap saat. Nasabah bank sampah juga menerima buku tabungan untuk memantau berapa banyak uang yang terkumpul dari menabung sampah.

Bank sampah unit seperti Bank Sampah Wani menetapkan harga beli yang lebih rendah ke nasabah ketimbang harga di bank sampah induk demi menutup biaya operasional saat pengumpulan, pencucian, dan pemilahan sampah.

Pada awal-awal operasionalnya, Denik kerap ditanya warga tentang berapa banyak keuntungan yang bisa didapatkan dari menjual sampah. Denik tak mampu menjanjikan apa-apa. Di tengah situasi itu, salah satu pengurus bank sampah kembali mundur.

“Kader tapi keder, karena nggak digaji. Yo, ora opo-opo.”

Semakin berkurangnya pengurus tak membikin Denik patah semangat. Ia punya gol bank sampahnya tidak sekadar mengumpulkan dan menjual, melainkan juga bertekad memajukan operasional Bank Sampah Wani.

“Ya sudah kita kayak orang-orang ngemis gitu. Ke RT-RT lain datang, sosialisasi buat minta sampah, ha ha ha…”

Ia meminta surat pengantar ke kelurahan untuk mengurus surat keputusan bank sampah ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya. “Minta pengantar ke Pak Lurah itu perjuangan. Betul-betul dipersulit padahal kata DLH itu gampang.”

Sayang, semangat Denik terhalang pandemi. Bank Sampah Wani terpaksa vakum karena pembatasan kegiatan dan adaptasi terhadap wabah terlebih dahulu.

Tiga warga menyetor botol dan barang bekas lain dari rumah dan kantor di Bank Sampah Induk Surabaya, Jawa Timur. (Project M/Muni Moon)

Olah Ide dari Sampah

Awal 2021, Denik dan tiga pengurus lain mulai mengumpulkan kembali semangat yang terputus pandemi.

“Kita mulai lagi kumpulkan sampah-sampah warga. Di situ ternyata warga mulai nagih-nagih. Nggak mau kalau cuma sebulan sekali ambilnya,” kata Denik.

“Aduh, tenaga kami juga terbatas. Kita juga nggak ada gudang,” imbuhnya. “Dari situ sebenarnya saya bingung, tapi jadi semangat juga.”

Ia kembali mengurus SK Bank Sampah ke kelurahan. Kali ini usahanya sukses. Selanjutnya, Denik mendaftarkan Bank Sampah Wani ke lomba Desa/Kelurahan Berseri, sesuai rencana awal.

Di tengah proses itu, ia terus memikirkan cara agar bank sampah unit tak sekadar memindahkan sampah dari satu tempat ke tempat lain. Ide mengolah sampah pun muncul.

“Pokoknya di kepalaku itu banyak ide, gimana ini nggak cuma gini-gini aja,” katanya.

Denik Arie Wahyuni (47), seorang pekerja di perusahaan kontraktor sekaligus ketua bank sampah di Kelurahan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur.(foto: Muni Moon)

Denik, yang semula tidak menerima sampah saset berlapis foil karena harga jualnya rendah, mulai berani mengambil dan mengolahnya jadi beragam kerajinan. Awalnya, Denik mengajak pengurus dan warga membuat kerajinan dari sampah bekas, lagi-lagi bermodal panduan di internet.

Aneka jenis tas, taplak meja, hingga tempat tisu hasil olahan sampah bekas itu dijual di bazar-bazar sekolah dan kelurahan dengan harga Rp12 ribu-Rp30 ribu.

“Yo, Alhamdulillah laku. Tapi, nggak selalu begitu. Balik lagi, warga itu juga ada yang kurang berminat. Sekalipun ada, laku, tetap belum bisa jadi pemasukan meskipun kita titipkan ke sana-sini,” kata Denik.

Selain kerajinan barang bekas, Denik mulai memikirkan bagaimana mengolah sampah organik dan minyak jelantah. Suaminya mendukung ide itu.

“Suamiku belajar ngolah sampah jadi pupuk, ngilangin bau minyak jelantah untuk bikin jadi lilin. Sama, belajarnya juga dari Mbah Google,” katanya.

Produk tas kerajinan tangan dari sampah plastik saset di Bank Sampah Induk Surabaya, Jawa Timur. (Project M/Muni Moon)

* * *

Di antara waktu yang sibuk dan penuh ide itu, Denik menerima kabar Bank Sampah Wani terpilih menjadi salah satu pemenang Desa/Kelurahan Berseri untuk kategori madya dari Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Kemenangan itu bagi Denik bukan cuma hadiah atas kerja kerasnya, tapi jadi momentum untuk semakin memasarkan bank sampahnya.

Pokoke dalam pikirku, ini kita menang, punya nama,” katanya.

Modal prestasi itu membuatnya semakin ingin mengembangkan BSW. Kali ini ia ingin membuat semua sistem pencatatan tabungan nasabah menjadi digital.

“Kasihan bendaharanya, semuanya dicatat manual.”

Ia meminta suaminya, seorang karyawan di bidang IT, untuk menyusun rancangan awal pembuatan aplikasi mirip mobile banking serta situs web Bank Sampah Wani.

“Pokoknya saya yang ngide, dia yang mengerjakan. Dia sampai bilang, ‘Duh, Bu. Idemu itu menyengsarakanku’,” katanya tertawa.

Tapi, digitalisasi butuh modal.

Ide lain muncul. Ia berinisiatif mengajukan proposal kerjasama ke perusahaan-perusahaan di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak. Menurutnya, banyak peluang dari program pertanggungjawaban keberlangsungan perusahaan alias CSR.

Proposal pertama diajukan ke PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo).

“Nekat aja. Padahal saya tuh belum tahu bagaimana caranya jadi mitra binaan untuk program CSR. Yo, Alhamdulillah proposalnya tembus, rek!” katanya.

Dari Pelindo, Bank Sampah Wani dapat dukungan komputer, laptop, printer, gerobak sampah motor, serta dukungan pembuatan aplikasi dan situs web.

Berkat dukungan itu, bank sampah unit tersebut menambah periode pengumpulan sampah menjadi dua kali dalam satu bulan.

Periode pertama, biasanya pada minggu kedua, Bank Sampah Wani bersama warga pengurus membuka pengumpulan sampah di area titik kumpul RT. Pengumpulan kedua, pada akhir bulan, Denik dan tim menjemput sampah ke rumah-rumah warga.

“Kita jemput bola atas dasar laporan ada sampah yang sudah numpuk. Pokoknya sekarang itu satu bulan kita sudah bisa dapat 500 kg sampah yang sudah terpilah. Makanya kita juga butuh tambahan gudang,” ucapnya.

Hanya saja dalam setahun terakhir ini, harga jual sampah yang ditetapkan Bank Sampah Induk Surabaya terus turun. Denik tak tahu persis alasan di balik penurunan harga tersebut, selain spekulasi ada permainan harga kertas. Di luar itu, ia hanya memikirkan bagaimana nasabahnya tetap mau menabung meski harga jual sampah bekas terus turun.

Saat ini, Bank Sampah Wani memiliki sekitar 80 nasabah yang tercatat dalam pembukuan, dengan rerata nilai tabungan per orang Rp50 ribu-Rp200 ribu. Sementara, untung untuk ‘gaji’ kader, “SEPULUH EWU!” teriak Denik.

Infografik harga kertas dan plastik bekas di bank sampah unit dan Bank Sampah Induk Surabaya, Oktober 2022.

Selayak-layaknya Apresiasi

Bagi Denik, keberhasilan bank sampah warga bergantung dari banyak dukungan. Pertama, tentu saja dukungan keluarga.

Kedua, dukungan pengurus. “Yang penting konsisten, sabar. Niatnya memang kerja sosial, kita ini pencinta lingkungan,” kata Denik, seraya berkelakar. “Ya, semacam pemulung modern juga, sih.”

Ketiga, dukungan warga. Denik mengaku kesulitan mengubah pola pikir warga tentang sampah. Selama melakukan sosialisasi bank sampah, Denik menekankan edukasi tentang pemisahan dan pencucian barang bekas sebelum disetor dan diolah.

Demi memicu semangat warga, Denik terkadang masih rela menerima barang bekas kotor untuk kemudian dipilah dan dicuci para pengurus Bank Sampah Wani. Namun, ia berharap hal ini tidak terus-menerus karena mereka terbatas tenaga dan waktu.

“Mengajari warga itu angel. Milah sampah saja angel. Memang ada yang bergerak, tapi belum 100 persen. Kita pengennya ketua RT koordinir warganya. Kolektif dulu, kalau butuh penjemputan, kita jemput,” kata Denik.

Denik Arie Wahyuni, Ketua Bank Sampah Wani, bersama tetangganya menunjukan hasil olahan sampah organik menjadi pupuk untuk tanaman hias di Kelurahan Tanjung Perak, Surabaya. (Project M/Muni Moon)

Keempat, dukungan pemerintah daerah dalam regulasi, kemudahan perizinan, dan pengakuan bank sampah unit sebagai bagian dari Kader Surabaya Hebat.

Kader Surabaya Hebat adalah bagian program kerja Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi untuk memberdayakan masyarakat mendorong perbaikan kerja di sektor lingkungan, kesehatan (posyandu), dan antisipasi demam berdarah (jemantik).

Para kader mendapat gaji kisaran Rp300 ribu-Rp400 ribu per bulan dalam program yang dimulai tahun 2021 itu. Pada 2022, pemkot menyuntikkan dana Rp13,4 miliar untuk program tersebut, salah satunya untuk kenaikan gaji para kader di kisaran Rp500-600 ribu per bulan.

“Sampah itu dianggapnya bagian dari kerja sektor lingkungan. Persoalannya, dari dulu, pengurus bank sampah itu tidak ada yang jadi Kader Surabaya Hebat,” kata Denik.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya Agus Hebi tidak memberi respons saat dikonfirmasi. Di sisi lain, Denik pernah menanyakan ke DLH setempat perihal peluang pengurus bank sampah diberikan insentif layaknya KSH. Jawaban yang ia dapat kali itu adalah bisa, tetapi harus melalui sejumlah proses administrasi terlebih dulu.

“Memang nggak ada aturan bank sampah digaji seperti KSH. Tapi, kok seperti dianaktirikan? Kalau ada bank sampah prestasi, yang dipuji KSH-nya, lho aku deg… Pengelolaan lingkungan? Padahal bank sampah, kan, bagian dari itu.”

175 Ribu Ton Sampah per Hari

Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan jumlah bank sampah unit (dikelola masyarakat) dan bank sampah induk (dikelola LSM/Pemda/masyarakat) terbanyak di Indonesia.

Merujuk Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, jumlah bank sampah unit di Jawa Timur mencapai 2.684 dari total 11.531 gerai di seluruh Indonesia. Sementara, dari total 237 bank sampah induk, 29 di antaranya ada di Jawa Timur.

Sekalipun jumlah bank sampah unit dan induk telah mencapai belasan ribu, tetapi angka ini belum sepenuhnya efektif dalam menjawab persoalan pengelolaan sampah di Indonesia.

Mengutip data yang sama, jumlah sampah yang diterima bank sampah unit sepanjang tahun 2022 mencapai 404,78 juta kg. Dari jumlah itu, hanya 138,4 juta kg yang terkelola atau sekitar 34%. Begitu juga dengan sampah yang dikelola bank sampah induk hanya 0,3% saja atau 247.498 kg dari total 90,2 juta kg sampah yang diterima.

KLHK mengestimasi jumlah sampah harian di Indonesia mencapai 175 ribu ton. Mereka mengklaim bisa mengelola sampai 77 persennya, sudah termasuk kerja-kerja bank sampah. Sisa sampah yang tidak terkelola masih akan menumpuk.

Pada 2022, timbunan sampah telah mencapai 18,89 juta ton. Bila tidak di TPA, sebagian besar sampah plastik yang tidak terkelola itu berakhir mencemari laut.

Infografik capaian kinerja pengelolaan sampah rumah tangga tahun 2022. (Sumber: Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional)

Pemerintah sejauh ini telah membangun sejumlah fasilitas pengelolaan sampah non-organik menjadi sumber energi baru. Akan tetapi, kapasitas pengelolaannya juga masih belum sebanding dengan jumlah sampah yang dihasilkan.

Semisal untuk industri pengolahan dengan teknologi pirolisis yang menggunakan bahan baku sampah plastik jenis LDPE (Low Density Polyethylene) dan sampah plastik jenis PET (Polyethylene Terephthalate) untuk diubah menjadi bahan bakar minyak (BBM). Saat ini, jumlah fasilitas yang terbangun tidak melebihi 10 unit dengan kapasitas pengelolaannya hanya 2.102 ton/tahun.

Begitu juga pengolahan dengan teknologi Refuse-Derived Fuel (RDF) yang mengubah sampah plastik jenis tertentu menjadi briket untuk pembakaran uap. Saat ini, dari total sembilan fasilitas pengolahan, jumlah sampah yang bisa terkelola sepanjang 2019-2022 baru mencapai 151.241 ton.

***

Inisiatif Peduli Lingkungan di Kota Minim Kesadaran

STAMINA RENI ANGGRAENI (42) sudah tidak 100 persen saat kami temui di rumahnya di Sidoarjo, Jawa Timur. Sejak pagi, ia sudah berkeliling ke sana-sini mempersiapkan acara peringatan Hari Peduli Sampah Nasional 2023 pada 19 Februari di Sidoarjo.

Selain mengurus rumah dan ketiga putrinya, Reni punya kegiatan lain. Ia adalah salah satu pengurus paguyuban bank sampah di Sidoarjo. Suaminya bekerja di Kediri, dan baru pulang saban akhir pekan.

Awalnya, Reni menolak untuk diwawancara perihal kegiatan yang dilakoninya itu. Penolakannya lebih karena ia tak percaya diri, bank sampahnya tidak punya banyak peminat, juga tidak ada pengurusnya.

Sudah tujuh tahun, ia menjalankan kegiatan kolektif bank sampah. Berawal dari inisiatif pengumpulan sampah di sekolah putrinya.

Reni mengaku sebagai seorang yang idealis, bila tak terlalu berlebihan, juga aktivis.

“Awalnya aku sama ibu-ibu, berempat. Kita ambil sampah, cuci, jemur sendiri,” kata Reni.

Jenis sampah yang ia ambil adalah bungkus-bungkus makanan. Bermodal dari membaca berbagai informasi di internet, ia kemudian mengumpulkan sampah-sampah itu ke dalam botol untuk kemudian dijadikan ecobricks atau batubata ramah lingkungan.

Botol-botol ecobricks kemudian diubahnya dalam bentuk kursi dan meja. Barang kerajinannya itu tak lagi terlihat seperti tumpukan sampah karena telah ditutup kain kulit sintetis. Hasil kerajinan itu lalu dilombakan.

“Waktu itu pemerintah lagi gencar-gencarnya program lingkungan. Banyak sekali lomba,” kata Reni.

Dari perlombaan itu, ia dapat pesanan. Satu set meja dengan tiga kursi jenis stool dijual seharga Rp350 ribu. Bagi Reni, harga itu sebetulnya belum menutup ongkos produksi. Tapi, bagi sejumlah orang, harga itu kelewat mahal untuk kerajinan dari sampah.

“Ya, susah dijual. Paling cuma orang-orang yang paham lingkungan, yang nggak banyak. Dulu malah ada yang pesan tapi ternyata dia mau ikut lomba dan menang. Yo wis lah, ora opo-opo,” kata Reni.

Reni Anggraeni (42), pendiri Bank Sampah Vijas 3 di Sidoarjo, Jawa Timur. (Project M/Muni Moon)

Dari Pendiri, Berakhir Jadi Sendiri

Dari sekolah, kegiatan pengumpulan dan pengelolaan bank sampah berlanjut ke rumah.

Inisiatif itu masih Reni jalankan bersama keempat kawannya. Ketika itu, struktur kepengurusan bank sampah masih terlihat serius: ada ketua, bendahara, dan pencatat timbangan. Mereka biasanya mengumpulkan sampah sebulan sekali.

Promosi bank sampah dilakukan dari mulut ke mulut, seputar sirkel mereka dan tetangga. Lantaran keempat pengurus lain tidak tinggal di satu perumahan yang sama, Reni sering menjemput langsung sampah-sampah itu dengan mobilnya.

“Aku dulu bisa ambil sendiri sampai Kriyan (sekitar 13 km). Suamiku sempet ngingetin, bensinnya nggak setara sama harga sampahnya. Ya, tapi namanya seneng, lihat ada manfaatnya,” kata Reni.

Sampah yang terkumpul di rumahnya tidak dipilah. Ia sempat melakukan pemilahan, tapi terkendala karena pengepul yang diincar punya batas pengambilan berat sampah. Sementara, bila mengikuti batas berat itu, ia harus punya gudang untuk menyimpan  sampah-sampahnya.

Ia lalu menemukan pengepul dari Kecamatan Wonoayu yang mau mengambil semua jenis sampah bekas, bersih maupun kotor, berapapun jumlahnya. Persoalannya memang harga jual dipukul rata, satu kresek Rp4 ribu-Rp5 ribu. Biasanya, buku bekas yang bisa dijual dengan hitungan per kg dan tinggi, sekitar Rp25 ribu.

Untuk menarik nasabah, Reni berinisiatif menawarkan tabungan sampah dengan sejumlah promosi. “Pokoknya yang cocok sama ibu-ibu. Awal-awal sempat tukar sembako, lalu potongan bayar listrik, nah sekarang emas. Idenya itu dari sampah jadi emas,” kata Reni.

Namun, ia punya kendala. Ia tak punya tenaga memasarkan sampah jadi emasnya ke lebih banyak orang di luar sirkelnya. Saat pandemi, satu persatu pengurusnya mundur, dari alasan capek sampai tidak dapat izin dari suami karena dianggap tidak menguntungkan.

“Sebenarnya emas ini lumayan banyak yang mau karena ada ukuran yang paling kecil 0,25 gram, jadi nabungnya nggak lama. Harganya juga, kan, naik-naik terus. Tapi, aku ini nggak ada yang support,” keluhnya.

Ia sempat merekrut pengurus pengganti, tapi akhirnya batal. Lagi-lagi karena masalah duit. Reni mengatakan dalam satu tahun, ia paling hanya menerima keuntungan sekitar Rp700 ribu.

“Kalau dibagi lima itu sekitar Rp100 ribuan per tahun. Per bulan, satu orang ya sepuluh ewu-an! Orang mikir, daripada ngurus sampah, ya, mending ngurus anak. Kadang izin suami juga. Untung suamiku sakarepku,” katanya.

Sampai saat ini, jumlah nasabahnya yang tercatat mencapai 50 orang. Akan tetapi, yang aktif mengumpulkan sampah paling hanya separuhnya.

“Ya, edukasi maneh. Ini tetangga sendiri saja nggak mengumpulkan, kok,” tukas Reni.

Buku “Sampah, Amanah, Rupiah” karya tulis Teguh Isis. (Project M/Muni Moon)

Seminim-minimnya Dukungan

Sekitar dua bulan lalu, Unilever Indonesia menawarkan kerja sama bank sampah Reni. Bentuknya pengisian ulang tiga produk Unilever dengan wadah sendiri, semacam bulk store. Ketiga produk itu sabun cuci pakaian Rinso, sabun cuci piring Sunlight, dan pembersih lantai Wipol.

Modal yang diberikan adalah tiga jeriken dari masing-masing produk itu. Kalau diuangkan setara Rp300 ribu. Dari situ, Reni menawarkan kepada warga untuk mengisi ulang sabun dan pembersih lantai itu menggunakan wadah bekas di rumah.

“Biasanya tak samakan dengan harga pasar, atau selisih [lebih mahal] Rp1.000-Rp2.000. Kalau mahal-mahal orang, kan, mikir, ‘Ngapain, mending beli sendiri ke warung’,” katanya.

Namun, program itu tidak efektif, lanjut Reni. Kebanyakan pembelinya adalah temannya juga. Selebihnya tidak tertarik. Modal itu juga hanya satu kali diberikan Unilever. Untuk selanjutnya, bank sampah harus membeli sendiri isi ulang dari ketiga produk itu.

Kerja sama yang ditawarkan Unilever ini adalah yang kedua kali. Saat awal merintis bank sampah, korporasi raksasa yang memproduksi barang konsumsi itu juga sempat memberikan dukungan buku tabungan ke Reni.

Soal pengelolaan sampah, Reni mengaku Unilever sebetulnya menerima sampah bekas. Tapi, hanya dari kemasan produk mereka. Sampah bekas, kebanyakan saset, juga sudah harus bersih, kering, dan terlipat rapi.

“Jadi saset-saset itu ditumpuk sampai tipis. Mereka bayar satu kresek, biasanya 3 kg, Rp1.500. Susah juga, ngumpulin susah dan harus diantar sendiri. Nggak seberapa. Ya, nggak jalan,” kata Reni.

Project Multatuli telah menghubungi Unilever Indonesia tetapi tidak mendapatkan jawaban.

 

Aspirasi Tanpa Ngoyo

Reni muda pernah hampir jadi politikus. Sewaktu masih kuliah, ayahnya pernah menjagokan anak perempuan pertamanya ini dalam daftar bakal calon legislatif di Sidoarjo.

“Fotoku sempet dipampang di jalan-jalan. Ampun, malu juga. Ambisinya orangtua, ya,” kata lulusan Bahasa Jerman di Universitas Negeri Surabaya ini.

“Ya, nggak jadi, lah. Uang dari mana? Yang iya malah disangka nyari jodoh.”

Reni pernah jadi penulis untuk tabloid muslim milik Jawa Pos, Nurani. Ia menikmati perannya jadi bagian dari industri media. Namun, profesi itu tidak dilanjutkan karena kekhawatiran sang ibu.

“Mamaku dulu pernah bilang, ‘Ojo sampe jadi wartawan.’ Batinku, ‘Ya, nopo?’ Baru tahu susah dan risikonya pas sudah tua ini,” lanjutnya.

Ia kemudian menjadi penulis buku. Mengawalinya dengan menulis cerita pendek bersama penulis-penulis lokal lain. Nyaris sepuluh buku antologi dengan karyanya sudah terbit. Baru-baru ini, ia kembali menerbitkan buku cerita anak yang terinspirasi dari kisah sahabat Nabi Muhammad.

Plan-ku pengen solo tahun ini, semoga mimpi ini terlaksana. Nulis selama ini lebih buat pengembangan diri, sih,” katanya.

Ia melakoni peran sebagai penulis dengan santai. Ia ingat, suatu ketika ibunya pernah memintanya untuk tidak terlalu aktif. “‘Wis, ojo vokal-vokal. Jaga nama orangtua.’ Ya, tapi gimana? Aku senengnya memang keluyuran, ketemu banyak orang. Sekaligus nyampein aspirasi. Tapi, ya, akhirnya yang selo-selo saja.”

Tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Sidoarjo. (Project M/Muni Moon)

Masalah lingkungan yang saat ini jadi prioritasnya, selain pendidikan, menurutnya jadi barang mahal di Sidoarjo sekalipun sekolahnya punya pemerintah.

Ia kadang tak habis pikir dengan pemerintah daerah Sidoarjo yang lebih banyak sibuk dengan urusan-urusan yang tidak pro-rakyat, apalagi lingkungan.

“Surabaya itu punya wali kota yang lebih bagus. Zaman Bu Risma itu paling gembar-gembor soal lingkungan, sampai ada program bis bawa sampah,” sebut Reni.

“Sidoarjo duitnya dipake ke mana? Yang terakhir malah korupsi,” lanjutnya, seraya membahas vonis tiga tahun penjara untuk mantan Bupati Sidoarjo Saiful Ilah karena terbukti menerima suap pada 2020.

Makanya Reni tak jadi heran mengapa warga di Sidoarjo berbeda dengan Surabaya yang menurutnya lebih banyak yang sadar akan pentingnya mengurus lingkungan. Ia bilang, warga di desa-desa Sidoarjo masih banyak yang percaya bahwa sampah popok sekali pakai harus dibuang ke tempat yang ada airnya. Katanya, ada mitos membuang sampah ‘sembarangan’ bisa membuat anak mereka sakit.

“Bagi mereka dibuang ke kali, sawah, itu nggak apa-apa. Logika mereka karena sungainya ngalir. Pokoknya mereka mikir yang penting masalahku selesai, ya, sudah. Nggak mau mikir itu numpuknya di mana,” kata Reni.

“Kalau orang desa mikir itu ngalir ke laut terus jadi polusi, ya, enak. Berarti sudah sadar semua.”

Maka baginya, pemerintah punya tanggung jawab paling besar dalam memperbaiki masalah sampah, dari hulu ke hilir.

Dari pengamatannya, pengelolaan sampah di Sidoarjo masih mengandalkan tempat pembuangan akhir (TPA). Para petugas sampah, kata Reni, digaji Rp1 juta per bulan, sejauh ini masih ditugaskan untuk memindahkan sampah, belum dikoordinasikan untuk pemilahan dan pengelolaan. Akibatnya, banyak warga melihat persoalan sampah mereka selesai karena sudah terangkut.

“Jadi kayak lingkaran setan. Perusahaan harusnya nurut kalau regulasinya jalan. Tapi, yo, kayaknya kebalikan. Pemerintah yang nurut sama perusahaan,” keluh Reni.

Meski menjalankan bank sampah sendirian, Reni belum berencana untuk mundur. Ia masih akan meneruskan kegiatan ini, paling tidak selama suaminya tetap tidak masalah. Kalaupun bank sampahnya tidak maju, paling tidak ia masih bisa berkontribusi untuk bank-bank sampah lain di Sidoarjo.

“Kita nyari temen yang sefrekuensi saja. Nggak ngoyo. Kalau ada yang setor, ayo, nggak, ya, udah. Urip gawe, opo, ya, mikirnya sangu mati aja. Hidup udah masalah, jangan dibikin masalah. Ya, walaupun sampah juga masalah, ya,” tukasnya sambil tertawa.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Fahri Salam
19 menit