Terhimpit di Antara Perumahan dan Kafe: Petani di Sleman Digerus Pemodal dan Alih Fungsi Lahan

Mawa Kresna
15 menit
Slamet dan Waginem sedang menggarap lahan yang terhimpit konstruksi rumah baru. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Lahan pertanian di beberapa kalurahan di Sleman semakin sempit akibat alih fungsi lahan. Sebagian sawah ada yang sudah berubah menjadi perumahan, sebagian lagi di sewa untuk dijadikan kafe-kafe fancy yang lebih mendatangkan cuan. Sementara itu petani tanpa lahan pun semakin tak sanggup menyewa sawah akibat kalah saing dengan para pemodal.


SUWANDI menggarap tiga lahan untuk bertani, tapi tidak satu petak pun merupakan miliknya. Lahan itu ia garap bersama empat orang lainnya yang sama-sama tidak memiliki lahan.

Ada Slamet dan Haryanti, sepasang suami istri, sekadar menjadi buruh harian lepas. Jika sedang masa tanam dan panen, mereka turun ke sawah menjadi buruh tani. Supiyah, buruh tani lain yang tinggal di daerah Ceper, Kalurahan Wedomartani. Rumahnya berjarak satu jam perjalanan mengayuh dan menjinjing sepeda onthel dari sawah garapan Suwandi. Terakhir adalah Waginem, istri Suwandi yang sejak lahir pada 1954 tidak pernah meninggalkan tanah Sleman.

Siang itu, kelimanya sedang mengaso setelah menanam biji kacang tanah untuk menyambut kemarau. Pasca hujan tiga tahun berturut-turut, akhirnya para petani kembali menanam palawija pada kemarau 2023.

Obrolan mereka yang berawal dari lokasi membeli mie ayam paling sedap kemudian bermuara ke padatnya pendatang di kampung mereka, yaitu Padukuhan Dayu, salah satu dukuh di Kalurahan Sinduharjo.

Padukuhan adalah tingkatan administrasi yang setara dengan dusun (satu tingkat di bawah desa), kalurahan setara dengan desa, dan kapanewon setara dengan kecamatan. Istilah ini khusus dipakai untuk daerah kabupaten di Provinsi DIY.

“Ya RT 6 gabung mana? RT 6 itu khusus Perumahan Dayu Baru itu,” protes Waginem mendengar Slamet mengatakan bahwa RT 6 akan digabung dengan RT 5. Padahal, RT 6 Padukuhan Dayu sudah diistimewakan untuk perumahan. Isinya 100 persen pendatang.

Menurut Slamet, ia bahkan tidak lagi kenal dengan sejumlah tetangga yang kini lebih banyak pendatang yang tinggal di perumahan. “[Rumah] saya itu cuma dipisah jalan daerah [rumah]mu, tapi nggak kenal siapa-siapa,” ujar Slamet.

Pembicaraan berubah menjadi persaingan siapa yang paling banyak kenal tetangga mereka yang pendatang. Waginem menang. Dia bisa menyebut empat nama.

Pendatang, kata Suwandi, jumlahnya sudah lebih banyak daripada penduduk asli. Mereka membangun rumah-rumah mewah dan kedai-kedai kopi yang makin hari makin padat.

Ketika kelima petani itu mengaso bukan di gubuk atau saung, melainkan sebuah beranda musala milik satu kedai kopi bernama Warung Hadji Gori. Dua tahun sebelumnya, tempat ini masih hamparan sawah.

Warung Hadji Gori tepat bersinggungan dengan sawah garapan Suwandi yang seluas 2 ha. Penyewanya tertarik membangun sebuah kedai kopi setelah melihat kafe-kafe padat pengunjung di Jalan Sidomukti.

Cara mendapatkan lahan untuk kafe di daerah persawahan mudah saja: berikan tawaran harga sewa yang lebih tinggi daripada petani, si pemilik tanah spontan akan tergiur.

Waginem, Suwandi, Supiyah, Haryanti, dan Slamet sedang mengaso di beranda musala kedai kopi Warung Hadji Gori setelah menanam kacang tanah. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Tanah-Tanah di Bawah Kuasa Pasar

Bagi orang yang mengatakan kalau Yogyakarta adalah ibu kota kafe Indonesia tentu ia telah bertandang ke Jalan Sidomukti. Jalan sepanjang 700 meter ini dijejali oleh puluhan kafe segala mode dan cita rasa. Kedai kopi, teh, jus, bahkan jamu pun tersedia di sini.

Apa pun yang menjadi pilihan, semuanya menawarkan satu hal yang sama: pemandangan sawah ala pedesaan. Dari jendela kafe, pengunjung dapat menyaksikan petani menabur benih, menggali irigasi, membakar jerami.

Secara administratif Jalan Sidomukti masuk ke dalam Kalurahan Condongcatur, Kapanewon Depok. Namun, persawahan yang jadi sajian pemandangannya berada di administrasi yang lain, yaitu Kalurahan Sinduharjo, Kapanewon Ngaglik.

Mayoritas sawah di Kalurahan Sinduharjo merupakan tanah milik hak milik, sedangkan tanah yang menjadi kafe di bagian barat Jalan Sidomukti, Kalurahan Condongcatur merupakan tanah kas desa. Bagian timur Jalan Sidomukti kembali dikuasai oleh tanah-tanah hak milik.

Karena berdiri di atas tanah kas desa, pemilik kafe di bagian barat Jalan Sidomukti hanya bisa mendapatkan hak sewa. Kafe yang berdiri di atas tanah hak milik bisa membeli tanah tersebut.

Ivy Coffee merupakan salah satu perintis bisnis kafe berpemandangan sawah di Jalan Sidomukti yang menyewa tanah. Kafe dengan gaya coworking ini berdiri sejak 2017, ketika jalan masih sepi dan hanya diisi oleh warung dan toko usaha warga setempat.

“Dulu itu [lahan] yang menggunakan warga sebenernya, tapi karena mereka tidak berkembang, akhirnya lahannya ya udah disewain aja,” kata pemilik Ivy Coffee, Chris.

Dia tidak merasa kesulitan mendapatkan izin menyewa tanah untuk membangun kafe, meskipun bangunannya masuk ke dalam dua desa yang berbeda. Bagian indoor adalah tanah kas desa Kalurahan Condongcatur, sedangkan bagian outdoor adalah tanah hak milik yang masuk wilayah Kalurahan Sinduharjo.

“Yang penting sosialisasi dulu ke masyarakat. Kalau kita langsung ke kelurahan atau desa juga mereka bakal tanya mana bukti sosialisasi ke masyarakatnya,” terang Chris.

Menurut Chris, warga setempat menyambut baik keberadaan kafe, khususnya para pemegang tanah. Betapa tidak, harga sewa tanah untuk pengusaha luar kota bermodal tinggi jauh lebih menguntungkan dibandingkan sewa untuk lahan pertanian. Selain itu, kafe juga dianggap lebih produktif secara ekonomi ketimbang sawah.

Banyak petani bukanlah pemilik lahan dan banyak pemilik lahan bukanlah petani. Mereka sekadar mendapatkan keuntungan dari pembayaran uang sewa atau bagi hasil keuntungan panen. Mereka juga tidak perlu ambil pusing masalah kebutuhan produksi pertanian seperti benih, pupuk, dan traktor. Beban itu ditanggung petani yang menyewa lahan.

Ketimpangan ini dirasakan Qomarun Najmi, salah satu petani yang menggarap lahan di dekat Jalan Sidomukti. Dia mampu menyewa lahan dengan harga Rp15-25 juta per tahun untuk 1 ha lahan. Namun, kafe dapat menawarkan harga dua sampai enam kali lipat harga tersebut.

“Nah, kalau petani, kita gak bisa sewa [dengan harga kafe]. Ya nggak sanggup lah,” kata Qomarun.

Salah satu kafe di Jalan Sidomukti membuat teras semi permanen yang berdiri di atas lahan bekas sawah. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Tanah kas desa di Jalan Sidomukti juga turut jadi lapak alih fungsi lahan pertanian. Berdasarkan laman informasi Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY, Intantaruberinfo, tanah tersebut telah bersertifikat dengan tujuan penggunaan “pertanian, bangunan, dan kuliner”.

Menurut Qomarun, harga yang ditawarkan para pengusaha untuk menyewa tanah kas desa bisa lebih tinggi lagi dibandingkan tanah hak milik. Ini karena petani biasanya membayar uang sewa lebih rendah jika bercocok tanam di tanah kas desa.

“Kalau hitungannya pakai standar kas desa, [kafe] ada yang bayar 10 kali lipat [harga sewa pertanian],” jelas Qomarun.

Petani semakin tidak mampu bersaing dengan entitas bermodal besar dalam tarik tambang pasar tanah pedesaan.

Namun, tidak semua tanah kas desa mendukung alih fungsi lahan pertanian. Contohnya adalah sawah garapan Suwandi yang lain di Padukuhan Dayu, Kalurahan Sinduharjo. Sejak 1995, ketika Suwandi mulai beralih profesi dari mandor kuli bangunan menjadi petani, tanah ini tidak pernah beralih fungsi. Dia mengungkapkan, tanah tersebut bisa dijaga sebagai sawah karena statusnya sebagai tanah kas desa.

“Yang sana gak bisa [dialihfungsikan] karena itu lemah kas. Masih luas kalau tanah kampung itu. Tapi itu [batas desa] udah perumahan. Jadi perumahan itu hak milik pribadi.”

Meski demikian, karena sawah itu berada di dua wilayah administrasi kalurahan, hanya sebagian saja yang akhirnya tetap bisa bertahan karena statusnya tanah kas desa. Sebagian lagi yang masuk wilayah administrasi kalurahan lain sudah berubah menjadi perumahan dengan status hak milik. Padahal, pada 2010 area itu adalah persawahan.

Jika kafe hanya bisa mencaplok sepetak lahan kecil di tepi jalan, perumahan bisa mengambil seluruh persawahan sekali beli. Hasilnya, gubuk ringkih milik Suwandi bersanding dengan dinding semen tinggi pembatas kompleks rumah mewah.

Memetakan Lahan Tani yang Hilang

Selain lahan pertanian di Kalurahan Condongcatur dan Sinduharjo, masih ada sembilan kalurahan lain juga rentan mengalami alih fungsi lahan. Kesembilan kalurahan ini adalah Maguwoharjo, Caturtunggal, Minomartani, Sariharjo, Sinduadi, Trihanggo, Sendangadi, Banyuraden, dan Nogotirto. Wilayah ini mencakup tiga kapanewon, yaitu Depok, Ngaglik, dan Gamping. Ketiganya berbatasan dengan Kota Yogyakarta.

Penelitian berjudul Pemetaan Transaksi Jual Beli Tanah Tahun 2015, 2017, dan 2019 di Kabupaten Sleman yang ditulis Dewi dan Djurdjani (2021) menunjukkan tiga kapanewon tersebut masuk dalam lima kapanewon dengan jumlah transaksi tanah paling tinggi di Kabupaten Sleman dalam rentang 2015 – 2019. Ngaglik berada di peringkat pertama dengan 1.276 transaksi, Gamping di peringkat kedua dengan 1.055 transaksi, dan Depok di peringkat kelima dengan 833 transaksi.

Jika mengamati Peta Guna Lahan Kabupaten Sleman Tahun 2015, 11 kalurahan di atas masih banyak diisi oleh peruntukan lahan sawah beririgasi. Namun, pada Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Sleman Tahun 2021 – 2041, peruntukan lahan tersebut sudah hampir berubah sepenuhnya menjadi kawasan permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan. Lahan peruntukan pertanian hanya tersisa pada perbatasan Kalurahan Minomartani, Sinduharjo, dan Sariharjo.

Secara total, terdapat sekitar 991,15 ha lahan yang berubah peruntukan dari pertanian ke permukiman. Luas ini lebih besar ketimbang luas seluruh kalurahan yang terdampak, kecuali Maguwoharjo.

(Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Perlu dicatat, peta di atas bukan perubahan lahan pertanian menjadi permukiman, melainkan perubahan pola dalam kebijakan tata ruang Pemda Kabupaten Sleman. Peta itu memperlihatkan lahan yang sebelumnya diprioritaskan untuk kegiatan pertanian, saat ini diprioritaskan untuk kegiatan permukiman.

Pada Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 13 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2021 – 2041, kawasan permukiman perkotaan memprioritaskan pembangunan perumahan, perkantoran, perdagangan, dan sarana penunjangnya. Lahan pertanian masuk ke dalam kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat.

Dalam Perda yang sama, hampir seluruh kawasan pertanian dilindungi oleh skema Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). Daerah ini tidak boleh dialihfungsikan kecuali untuk rumah tinggal petani, pengadaan tanah kepentingan umum, atau bencana alam.

Masalahnya, karena 11 kalurahan ini sudah tidak punya kawasan peruntukan pertanian, maka tidak ada lagi petak sawah yang mendapatkan perlindungan dari skema KP2B. Semua tunduk di bawah hukum untung rugi pasar tanah. Padahal, terdapat 5.083 jiwa yang terdaftar sebagai petani di 11 kalurahan tersebut. Banyak yang berkondisi seperti Suwandi dan rekan-rekannya: menyewa lahan atau bekerja kepada orang lain sebagai buruh tani.

Dampak penyusutan kawasan pertanian bagi petani bukan cuma masalah lahan, tapi juga masalah biaya produksi, pilihan profesi, bahkan masalah relasi dengan para pendatang.

Tak Ada Untungnya Lagi Menandur Padi

Belakangan, burung emprit habis-habisan menggerogoti padi. Hama tersebut saat ini adalah momok terbesar para petani, bahkan melebihi wereng dan walang sangit.

Suwandi bercerita, sawah yang biasanya menghasilkan sepuluh karung gabah bisa berkurang jadi lima karung karena serangan emprit. Ia pun kerap kehilangan dua sampai tiga karung. Padahal, satu karung gabah dengan bobot 50 kg memiliki harga sekitar Rp240 ribu, jumlah yang tidak sedikit bagi para petani.

“Di sana itu bahkan padinya habis. Satu [karung] pun gak dapat,” tunjuk Suwandi kepada salah satu petak sawah yang kering kerontang.

Untuk menghalau emprit, para petani dapat membeli sebentang jaring yang menyelaputi bagian atas sawah mereka. Emprit tidak bisa menembus selaput nilon tersebut. Kalau pun ada yang berhasil masuk, mereka akan terjebak di dalamnya dan mati kelelahan.

Namun, harga satu bentang jaring dapat mencapai Rp4 juta, sepertiga harga sewa 1 ha lahan selama setahun. Hanya golongan petani berkecukupan yang bisa membelinya. Suwandi tidak termasuk golongan tersebut.

Seekor emprit mati terjerat jaring pengaman hama yang menyelubungi padi. Harga jaring ini bisa mencapai empat juta rupiah untuk sepetak sawah. Hanya petani berkecukupan yang bisa membelinya. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Sebagai alternatif, Suwandi punya tiga opsi: pertama menjaga sawahnya seharian penuh, kedua menanam varietas padi tahan hama dengan produksi yang jauh lebih kecil, ketiga pasrah. Karena keterbatasan usia dan modal, Suwandi kerap memilih opsi terakhir.

Lagi pula, uang Suwandi sudah habis oleh keperluan tani yang lebih mendasar, misalkan saja untuk upah buruh tani. Hari ini sulit mendapatkan buruh tani yang dapat diandalkan. Para pria lebih senang bekerja sebagai kuli bangunan, sedangkan para wanita memilih pekerjaan rumah tangga.

Orang-orang yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani mulai beralih profesi sejak permintaan untuk kerja konstruksi dan domestik semakin ramai berdatangan ke Kalurahan Sinduharjo dan sekitarnya.

Suwandi selamat karena ada Slamet, Haryanti, dan Supiyah–tetangganya yang setia ikut menggarap sawah. Meskipun ketiganya selalu merespons permintaan Suwandi tanpa ragu, namun mereka juga merangkap profesi sebagai pekerja konstruksi dan domestik. Slamet bahkan mengakui kalau pekerjaan konstruksi lebih enak daripada bertani.

“Kalau kuli itu ya mulainya gak pagi banget. Jam 9 biasanya baru mulai, selesainya juga paling jam 3 itu sudah selesai. Kalau tani kan harus dari pagi banget, jam 6. Selesainya bisa gak tentu. Kalau lagi musim emprit begini ya pulang bisa sore juga,” jelas Slamet.

Mengakali hal ini, Suwandi mau tidak mau harus menaikkan daya tawarnya. Buruh tani yang hanya dibayar Rp60 ribu sehari, oleh Suwandi dibayar Rp75 ribu plus sarapan, kudapan, dan makan siang. Ketika panen, Suwandi memberikan sekitar sepertiga karung gabah sebagai bonus kepada para pekerjanya.

Lantas, bagaimana Suwandi mendapatkan keuntungan dengan tuntutan pengeluaran yang begitu tinggi dan risiko gagal panen yang begitu besar?

Jawaban singkatnya, tidak. Suwandi memang tidak mendapat keuntungan. Suwandi memiliki tiga bidang sawah garapan, masing-masing luasnya 2 ha, 3 ha, dan 0,7 ha dan berada di lokasi yang berbeda. Untuk sawah yang seluas 3 ha pengeluaran Suwandi sebagai berikut:

        • Untuk membajak sawah seluas 3 ha Rp700 ribu
        • Untuk membeli benih Rp1,5 juta
        • Mencabuti gulma di sawah dan pematang Rp1,8 juta
        • Menyewa mesin panen Rp900 ribu

Totalnya lebih dari Rp4,9 juta.

Itu belum menghitung pengeluaran lain seperti biaya sewa lahan, pupuk, dan biaya penggilingan padi. Lupakanlah kebutuhan sehari-hari. Lupakanlah tabungan pribadi.

“Kalau [gabah] kurang dari 10 kwintal, gak ketutup. Rugi,” kata Suwandi.

Hari itu, Suwandi hanya mendapatkan 4,7 kwintal gabah. Jumlah ini telah dikurangi sekitar 50 kg yang dibagikannya kepada para buruh tani. Sisanya ludes menjadi makan siang emprit. Total penjualan hanya mencapai Rp2,9 juta.

Setelah menandur, merawat, dan memanen padi berbulan-bulan, Suwandi justru terlilit defisit setidaknya Rp2 juta. Pun demikian untuk sawah yang luasnya 2 ha, Suwandi juga merugi.

Gabah siap jual yang telah melalui proses penggilingan. Saat pemotretan (11 Juli 2023), harga satu kilogram gabah adalah Rp4.800. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Angkatan Terakhir Petani Sleman

Tepat sehari sebelum menggiling padi, Waginem kecelakaan. Ia terperosok masuk ke saluran irigasi di sawah tetangganya. Kakinya sakit bukan main. Jangankan berjalan, beranjak dari kasur pun ia tidak mampu. Berkuranglah satu tenaga yang membantu Suwandi mengerjakan sawah. Mereka malahan harus mengeluarkan uang tambahan untuk pergi berobat ke tukang pijat.

Rumah Suwandi dan Waginem yang biasanya sepi jadi disesaki penjenguk. Dua anak mereka datang untuk merawat sang ibu, sedangkan saudara dan tetangga dekat ikut menengok.

Suwandi dan seorang anaknya sibuk mondar-mandir menyajikan makanan seadanya: kopi sachet, kue kering yang sudah agak basah, pisang-pisang mungil. Satu anaknya yang lain terdengar sedang memasak di dapur. Orang-orang dilarang pulang sebelum makan.

Ketika para penjenguk pamit, semua menghaturkan salam kepada Waginem dengan tempelan selembar uang berwarna hijau atau biru.

“Di kampung, yang paling berat itu bermasyarakat,” kata Suwandi.

Begitulah cara uang berputar di komunitas kampung menurut Suwandi. Setiap orang saling menambal defisit satu sama lain. Tidak dapat dimungkiri, uang yang diterima Waginem dari para penjenguk merupakan tambahan pemasukan untuk panen buruk mereka.

Suwandi memamerkan foto bersama guru-guru TK di dekat rumahnya. Bagi Suwandi, keahliannya untuk bergaul dengan semua orang adalah yang menyokong hidupnya sehari-hari. Foto: Finlan Adhitya Aldan

Namun, Suwandi menyaksikan sistem ini berada di ambang kepunahannya sejak pendatang mulai memenuhi desa.

“Repot kalau dengan pendatang. Jarang yang kenal. Ketemu aja jarang. Satu bulan mungkin gak pernah ketemu. Kenal ya orang-orang asli sini aja.”

Suwandi memamerkan foto bersama guru-guru TK di dekat rumahnya. Bagi Suwandi, kemampuannya bergaul dengan semua orang adalah yang menyokong hidupnya sehari-hari. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Saat ini, Suwandi hanya memiliki sembilan tetangga yang menggarap sawah di sekitar lahannya. Padahal, tercatat ada 1.531 jiwa yang tinggal di Padukuhan Dayu.

Berdasarkan laman resmi Kalurahan Sinduharjo, petani dan buruh tani hanya mencakup 3,1 persen seluruh penduduk, sedangkan total semua pekerjaan yang bergerak di sektor non-pertanian, mulai dari pekerja swasta, PNS, pekerja konstruksi, arsitek, hingga seniman mencapai 37,7 persen penduduk.

Suwandi mengatakan, sangat mudah menebak siapa yang pendatang dan siapa yang penduduk asli. Jika dia bekerja sebagai pengusaha atau pegawai kantor, bisa dipastikan dia pendatang.

Karena perbedaan profesi inilah, penduduk asli dan pendatang jarang berinteraksi. Profesi para penduduk asli dekat dengan tempat mereka tinggal. Mereka juga umumnya mempekerjakan sanak saudara, teman dekat, atau tetangga. Sementara itu, para pendatang yang berkantor jauh tidak punya keterikatan hidup dengan tanah tempat mereka tinggal.

“Pendatang itu ada baiknya. Dalam artian, pendatang biasanya mengadakan bangunan yang dari luar menunjukkan kalau desa ada kemajuan. Tapi jeleknya, pendatang itu meninggalkan budaya kita,” kata Suwandi.

Budaya yang Suwandi maksud adalah sistem saling bantu antarwarga yang bertumpu pada seberapa kenal satu tetangga dengan tetangga lain. Kita menyebutnya dengan nama gotong royong.

Suwandi merasakan saat ini, semakin banyak pendatang, semakin mereka tidak saling mengenali, semakin mereka tidak saling menyayangi. Sedikit sekali orang yang dapat membantu dirinya dan kerabatnya jika mereka sedang berada dalam kesulitan ekonomi.

Fenomena ini tidak hanya menjangkit orang-orang asing, tapi juga anak-anak para petani. Anak Suwandi, Waginem, Slamet, Haryanti, dan Supiyah tidak ada yang bekerja sebagai petani. Karena pendapatan petani yang tidak menentu, mereka memilih profesi lain untuk menghidupi diri.

Anak-anak petani saat ini memilih menjadi pekerja rumah tangga, buruh pabrik, pegawai toko, atau membuka warung. Tidak aneh jika petani di lingkaran perkenalan Suwandi tidak ada yang di bawah usia 50 tahun. Semua buruh tani yang bekerja kepadanya bahkan sudah memiliki cucu.

Lantas, di tanah-tanah teralih fungsi, bukan hanya lahan tani dan pola hidup bertani saja yang terancam punah. Petani sendiri pun sudah hampir habis jumlahnya.

Angkatan terakhir petani itu bukannya tidak ingin beralih profesi. Mereka tergiur melihat hidup yang lebih berkecukupan, namun di usia melampaui kepala lima dengan pendidikan dan keahlian yang terbatas, tidak banyak lagi yang bisa mereka lakukan selain bertani.

Maka, ketika Suwandi ditanya mengapa ia masih gigih menandur benih padi di usianya yang ke-82, dia hanya menimpali balik dengan satu pertanyaan tandingan yang sederhana, tetapi begitu tajam.

“Ya, mau kerja apa lagi sekarang?”

Suwandi di sawah garapan dan gubuknya yang bersebelahan dengan kompleks hunian mewah. (Project M/Finlan Adhitya Aldan)

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
Mawa Kresna
15 menit