Transisi Energi Setengah Hati: Setelah Dibangun, Sudah itu Mati

CERAH
Fahri Salam
11 menit
Sulkifli (kiri) dan Sultoni (kanan) mantan operator Pembangkit Listrik Tenaga Surya terpusat di Desa Way Haru yang sempat mendapat pelatihan dasar tentang pengoperasian PLTS selama tiga minggu di Jakarta. Warga desa di tengah kawasan hutan itu sangat antusias menyambut jaringan setrum negara. Tapi, ironisnya, PLTS cuma bertahan setahun. (Project M/Sartika Nur Shalati)
PLTS terpusat yang dipasang negara cuma bertahan setahun. Ia mangkrak, lalu dimusnahkan. Kedatangannya secepat kematiannya. Selama ratusan tahun, warga kampung di kawasan hutan di Lampung ini tak pernah menikmati setrum negara.

SULKIFLI, 45 tahun, menarik napas berat kala melihat bendera partai politik berjejer di sepanjang jalan desa pada akhir Desember 2023. Di kampungnya, Pekon (Desa) Way Haru, warga tak kunjung menikmati fasilitas listrik selama lebih dari dua abad sejak kampung itu berdiri. 

Di kampung itu, ada sedikitnya 2.700 penduduk Marga Belimbing. Dan, selama puluhan tahun, mereka berkomitmen tidak merusak hutan demi berkontribusi melindungi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Provinsi Lampung.

“Saya sudah tidak percaya pemilu, siapa pun yang jadi presiden nanti, terserah,” kata Sulkifli sambil menyapa seorang kerabat melintasi depan rumahnya menuntun gerobak sapi penuh lumpur.

Dulu setiap kali menjelang pemilu, Sulkifli berkeliling desa mengumpulkan data calon pemilih. Tiga kali beruntun, sejak 2009, dia jadi panitia pelaksana pemilu. Dia juga tak pernah absen memberikan suara ke kandidat presiden yang kala itu dielu-elukan sebagai pemimpin yang gagasan politiknya merakyat.

Kini dia menolak semua ajakan dan janji manis politisi, alasannya muak dan minim realisasi. “Pemilu cuma jadi harapan kosong untuk rakyat. Kalau dipikir-pikir, memang ada harapan untuk kami?” 

Sulkifli merupakan satu dari empat warga yang pernah jadi operator pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terpusat di Pekon Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat. 

Warga setempat terbiasa berjalan kaki belasan kilometer dengan waktu tempuh 6 jam demi membawa stok sembako dan bahan bakar dari pasar terdekat. Pasar ini terletak di Way Heni, Pekon Penyandingan, yang masih satu kecamatan dengan Way Haru. Akses jalan menuju desa hanya bisa dilalui sepeda motor. Saat kering, waktu tempuh sekitar 2 jam, tapi saat musim hujan, 2-3 kali lebih lama lantaran jalan tergenang dan berlumpur.

Pekon Way Haru berada di kantong Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan diimpit Samudera Hindia. Lokasi desa di tengah kawasan konservasi membuat PT PLN (Persero) sulit mengalirkan listrik, terutama terkendala pembebasan lahan, pengurusan izin dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). 

Berkali-kali pemimpin berganti, dari presiden hingga peratin (kepala desa), belum ada yang berhasil merealisasikan jaringan setrum negara masuk desa. Pembangunan pembangkit gagal karena kebiasaan klise pemerintah: membangun tanpa berkomunikasi dengan masyarakat setempat sebagai penerima manfaat.

Akses jalan menuju Pekon Way Haru sangat ekstrem sehingga menyulitkan kendaraan melintas hutan konservasi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. (Project M/Sartika Nur Shalati)

PLTS Gagal itu Milik ESDM

Pada akhir 2016, PLTS terpusat yang dibangun di Pekon Way Haru merupakan kesempatan pertama masyarakat menikmati listrik. Ada 682 keluarga dari 280 rumah yang menikmatinya. 

Peratin saat itu, Dian Setiawan, merasakan gegap gempita warga. Warga rela berjalan kaki hingga 8 jam menempuh jarak 15 kilometer, melintasi jalan berlumpur, dan menyisir pesisir pantai.

Mereka menandu tiang, menggunakan sapi dan gerobak untuk mengangkut peralatan. Bukti betapa masyarakat Way Haru antusias menyambut PLTS yang akan menghidupkan kampung. Pemerintah pekon menghibahkan tanah tempat PLTS dibangun. Dian bahkan berinisiatif merogoh kocek pribadi untuk membayar jasa warga Rp50 ribu per hari.

Setelah terbangun, Sulkifli yang tamatan SMP ditambah paket C, ditunjuk jadi operator PLTS terpusat. Bersama Sultoni, ia ke Jakarta mengikuti pelatihan teknis dasar tentang pengoperasian PLTS selama tiga minggu. Dua orang lain dilatih di desa oleh operator dari Jakarta selama masa uji coba PLTS, satu-satunya kesempatan warga merasakan listrik nonstop selama 20 hari. 

Setelah PLTS beroperasi, warga cuma bayar iuran bulanan Rp10 ribu sebagai biaya operasional.

Uji coba berakhir. Operator pelatih meninggalkan pekon. Kemudian, akses listrik untuk warga menjadi 12 jam, petang hingga pagi, dengan masing-masing rumah dijatah 200 watt. 

Sulkifli dan ketiga rekannya menjalankan tugas berbekal pengetahuan dari pelatihan tanpa asistensi. “Enggak ada kendala selama beberapa bulan, soalnya cuma cek kabel, charger dan tekan tombol on-off, sama monitor,” ujarnya.

Berselang bulan, operator kewalahan karena PLTS berkapasitas 75 kilowatt peak (kWp)—75.000 Wp—itu sering terkendala teknis. Untungnya, operator pusat rutin datang jika menerima laporan kerusakan. 

Waktu berselang, durasi aliran listrik berkurang lagi. Hanya 5 jam, dari jam 5 sore sampai 10 malam, karena kekuatan daya pembangkit melemah.

Berbagai solusi dicari hingga menjelang setahun kerusakan PLTS semakin parah dan operator pusat tidak lagi merespons, apalagi datang ke desa. Tiga operator selain Sulkifli mundur karena PLTS mati total. 

“Sudah lapor sana-sini tapi enggak ada jawaban,” kenang Sulkifli.

PLTS Atap Lebih Tepat

Pembangunan PLTS di Way Haru menghabiskan waktu dua bulan, bertepatan dengan terpilihnya Dian Setiawan sebagai peratin. 

Berdasarkan dokumen yang dilihat Dian, proyek milik PT Industri Telekomunikasi Indonesia (Persero) itu bernilai lebih dari Rp10 miliar. Dana itu idealnya mencakup keseluruhan proyek, termasuk biaya angkut, yang justru menggunakan uang pribadi Dian sebesar Rp17,4 juta.

Tak ada yang menyangka PLTS berakhir menjadi sisa-sisa kerangka. Posisinya di pinggir jalan desa di seberang SD Negeri 025 Krui. Dipenuhi semak belukar, PLTS mangkrak itu terlihat mengenaskan. Setiap bulan selama setahun setelah ditutup, warga dan aparat pekon membersihkan rumput dan daun kering di lokasi. Berharap suatu waktu Kementerian ESDM datang dan PLTS kembali beroperasi.

Tapi, nihil!

Warga kebingungan. Tidak ada mekanisme pengaduan PLTS rusak. Tidak jelas ke mana dan kepada siapa harus mengadu. Yang bisa dilakukan warga desa cuma menunggu. Pada awal 2023, Kementerian ESDM mengajak Dian bertemu. Menjelaskan bahwa setelah dibangun, PLTS memang akan diserahkan ke pemerintah daerah atau pekon.

Kementerian ESDM sebelumnya meminta persetujuan Bupati Pesisir Barat Agus Istiqlal untuk mengalihkan tanggung jawab PLTS dari pusat ke pemerintah daerah. Upaya itu gagal karena bupati menolak menandatangani surat hibah. 

“Alasannya, PLTS harus diperbaiki dulu, baru diberikan ke pemerintah pekon. Jangan dihibahkan dalam kondisi rusak,” kata Dian, menirukan pernyataan bupati.

Bagi Dian, serah terima PLTS dalam kondisi baik pun harus disertai catatan agar warga tidak bingung mengelolanya. 

Pernyataan Dian sejalan pemikiran Wakil Bupati Pesisir Barat A. Zulqoini Syarif. Zulqoini adalah keturunan ke-17 Raja Marga Belimbing, yang merupakan Sai Batin (pemimpin tertinggi marga). Alasan Zulqoni, penyediaan listrik bukan tanggung jawab daerah, melainkan pemerintah pusat, dalam hal ini PLN.

Pemkab tak punya sumber daya mengelola PLTS dan tidak ada alokasi anggaran untuk perawatan dan perbaikan. 

“Jika pemerintah pusat tetap memaksakan, maka bisa dipastikan hasilnya akan seperti sekarang, gagal!”  Zulqoini menegaskan.

Koordinasi dari Kementerian ESDM sebagai pemilik proyek ke daerah dan pekon, memang tidak jelas sejak awal PLTS dibangun. ESDM hanya menginformasikan rencana membangun PLTS, tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

Menurut Dian, uang senilai proyek itu tidak akan habis untuk membeli solar panel dan aki untuk setiap rumah, dengan kapasitas lebih besar dari milik warga sekarang. Dian menganggap PLTS atap lebih masuk akal ketimbang PLTS terpusat. “Banyak banget malah lebihnya (dananya), warga juga sudah bisa pakai (menyalakan) TV, mesin cuci, segala macam.”

Sulkifli sependapat. Sebagai mantan operator PLTS terpusat, sekaligus pengguna PLTS atap, dia menyebut PLTS atap lebih efektif dibangun di desanya karena akses jalan Way Haru tidak memadai. 

Butuh waktu dan upaya ekstra untuk mobilitas orang dari luar masuk ke desa. Jika ada kendala, sulit direspons cepat. Apalagi jaringan telekomunikasi buruk. Satu PLTS rusak, seluruh masyarakat terkena dampak.

Untuk PLTS atap, warga Way Haru punya pengetahuan, mulai dari instalasi hingga perbaikan, karena sudah mengenal pembangkit tersebut sejak 2000. Jika rusak, yang sangat jarang terjadi, dampaknya kecil dan proses perbaikan tidak perlu menunggu berhari-hari atau berbulan-bulan.

Tahun berjalan, dan tanpa komunikasi lanjutan setelah kunjungan yang terakhir, Kementerian ESDM menerbitkan surat tertanggal 3 April 2023. Isinya persetujuan melakukan pemusnahan barang, dalam hal ini PLTS terpusat. 

Pada tanggal yang sama, pemusnahan dilakukan. Alasan pemusnahan PLTS, yang tercantum dalam berita acara, karena kondisinya rusak berat, tidak layak dilakukan revitalisasi dan dipindahtangankan, serta tidak bernilai ekonomis.

Dari sekian banyak perangkat PLTS rusak yang dimusnahkan, ada banyak lembar modul surya yang masih dapat berfungsi, yang kemudian dibagikan ke setiap rumah dengan kapasitas masing-masing 100 watt. Warga kini merasakan manfaat PLTS terpusat dari modul surya yang dipreteli dan dioperasikan di rumah masing-masing untuk menghidupi empat lampu.

Setiap rumah di Way Haru menginstal PLTS atap sebagai sumber listrik. (Project M/Sartika Nur Shalati)

Matahari atau Minyak, Mana Lebih Ekonomis?

Pada 2000-an, warga Way Haru menerima bantuan solar panel, aki, kabel, dan empat lampu, yang dibagikan terbatas. Prioritasnya untuk rumah aparat pekon dan fasilitas umum. Kabar baiknya, seluruh warga diajarkan cara merakit dan menginstalasi solar panel di atap rumah. Ini adalah pengetahuan, yang nilainya lebih berharga ketimbang sekadar fasilitas dari pusat dibawa masuk desa. 

Segera setelah memahami cara kerjanya, warga berbondong-bondong membeli solar panel. Sulkifli dan istrinya, Eli, jauh-jauh membeli ke Bandar Lampung sebelum tersedia di pasar terdekat. Meski harga Rp1,5 juta solar panel 100 watt saat itu tergolong tinggi, mereka tetap membeli. Harga aki berdaya 70 Ampere berkisar Rp1,5 juta.

Dengan panel surya, Eli hanya mengisi ulang air aki agar sistem penyimpanan daya terus berjalan. 

“Lumayan irit per bulan. Kalau mau, bisa sekalian nyolok-nyolok, pasang inverter untuk mengubah arus. Tapi, dayanya jadi lebih cepat habis juga. Fungsinya sama kayak power bank, tergantung pemakaian,” Eli menjelaskan.

Setelah warga membandingkan, harga mesin diesel dan genset jauh lebih mahal dibanding menginstal PLTS atap. Harga mesin diesel antara Rp2,5 juta–Rp5 juta, sementara genset Rp2 juta–Rp3 juta. Ditambah biaya bahan bakar Rp12 ribu–Rp15 ribu/liter.

Sebagian warga yang mengandalkan salah satu dari diesel atau genset, menghabiskan Rp60 ribu-Rp75 ribu per hari untuk penerangan, mengisi daya handphone, laptop, dan TV.

Marzaya, pemilik kulkas satu-satunya di Pekon Way Haru, menggabungkan daya PLTS atap 100 watt dan diesel, untuk menjalankan usaha kantin. Meski tak bisa memaksimalkan freezer untuk es batu karena daya minim, paling tidak ia bisa mendinginkan minuman. 

Mesin genset berbahan bakar Pertalite hanya digunakan pada acara tertentu di Pekon Way Haru karena biaya konsumsi bahan bakar yang tinggi Rp12.000/liter. (Project M/Sartika Nur Shalati)

Daya dari genset dan diesel memang lebih besar ketimbang PLTS atap 100 watt di setiap rumah. Namun, jika daya PLTS atap dan kapasitas aki ditingkatkan, pilihan listrik ini bisa lebih unggul. 

Mengeluarkan uang lebih di awal untuk menyesuaikan dengan besaran kapasitasnya, akan sepadan dengan tagihan listrik gratis bulanan. Pemerintah diharapkan menyesuaikan jenis energi dan pembangkit dengan kebutuhan masyarakat, termasuk menjadikan PLTS atap sebagai pilihan. 

Hitung-hitungannya, paket pembelian solar panel 1.000 Wp off grid saat ini sekitar Rp21 juta, tanpa biaya bulanan yang dapat digunakan 10-20 tahun. Kapasitas ini bisa untuk mengoperasikan elektronik berdaya besar seperti kulkas, mesin cuci, dan TV. 

Sedangkan mesin diesel maupun genset dengan kapasitas sama, rata-rata menghabiskan bahan bakar Rp1,8 juta/bulan jika digunakan secara penuh. Biaya bahan bakar genset setahun, setara biaya pemasangan PLTS atap yang masa pakainya 10-20 tahun.

Klaim Pertumbuhan Listrik Bersih 

Way Haru hanya salah satu contoh. Wilayah yang dulunya membentang melintasi tiga pekon itu, kini mekar menjadi Way Tias, Bandar Dalam, dan Siring Gading. Ketiga pekon tersebut mengalami nasib serupa Way Haru: PLTS yang dibangun tak lagi berfungsi.

Klaim pertumbuhan energi baru terbarukan (EBT) mencapai 13% pada 2023 dipertanyakan: apakah angka itu termasuk proyek gagal seperti di Way Haru dan lokasi lainnya?

Apalagi target pemerintah sangat membingungkan. Pada Januari 2024, dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN) menyebut target bauran energi terbarukan (ET) turun dari 23% menjadi 17%-19% tahun 2025 dan 19%-21% pada 2030. Sementara dalam rencana investasi Just Energy Transition Partnership (JETP), target ET mencapai 44% pada 2030. Dokumen lainnya, “Energy Compact”, ET ditargetkan mencapai 23% pada 2029.

Di sisi lain, pemerintahan Joko Widodo menargetkan elektrifikasi 100% pada 2022, merujuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030. Namun, target ini tidak tercapai. 

Jumlah desa yang masih perlu dielektrifikasi sekitar 3.095 di seluruh Indonesia melalui program listrik desa, yang sayangnya tidak memasukkan PLTS atap dalam skema programnya. 

Alasannya, (1) kapasitas PLTS atap dibatasi sesuai kemampuan sistem PLN; (2) dampak PLTS atap terhadap Biaya Pokok Produksi (BPP) PLN akan memberatkan biaya subsidi/kompensasi PLN; dan (3) tidak ada transaksi dalam skema bisnis PLTS atap. 

Kasus PLTS mangkrak bagai bom waktu yang jumlahnya diperkirakan bertambah setiap tahun jika pola pengelolaan dan komunikasi yang dilakukan pemerintah tidak berubah. 

Dari berbagai pemberitaan, ditemukan pola yang sama: masyarakat tidak diajak bicara dan tidak dibekali peningkatan kapasitas teknis yang mumpuni untuk mengatasi berbagai kendala teknis PLTS, serta skema pembagian tanggung jawab yang membingungkan sejak awal proyek dikerjakan.

Di Way Haru dan sekitarnya, keterbatasan listrik membuat sebagian besar warga kembali pada pertalite dan solar. Yang berarti, selain gagal menerangi empat pekon di Kecamatan Bengkunat, proyek PLTS terpusat juga gagal mewujudkan transisi energi dari bahan bakar minyak ke energi matahari di wilayah itu.

Dampaknya, salah satunya, membatasi mobilitas ekonomi warga. Di Way Haru, Eli ingin seperti Marzaya: membuka warung, berjualan kue, dan es. Tetapi, listriknya tidak memadai. 

“Kita mau pakai blender, mixer, dan kulkas, listriknya dari mana? Kalau pakai genset atau diesel, enggak berani. Takut malah rugi.”

Selain itu, keterbatasan listrik mengganggu kegiatan pendidikan. 

Endang Murjianto, Kepala SDN 025 Krui, merasakannya. Guru-guru mengisi daya laptop saat malam hari, berpacu dengan daya baterai untuk menyelesaikan semua tugas: mulai dari menyiapkan bahan ajar hingga input data dan nilai. 

Bagi para siswa, kehidupan di luar desa menjadi tak terjangkau selama listrik masih terbatas.


Sartika Nur Shalati adalah peneliti CERAH, organisasi nirlaba yang berfokus pada agenda kebijakan transisi energi di Indonesia.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
CERAH
Fahri Salam
11 menit