Ancaman Keragaman Pangan di Maluku Utara: Kala Sagu Tak Lagi Laku

8 menit
Sagu Tak Laku
Seorang pedagang menunjukkan tepung sagu di Pasar Bahari Berkesan, Gamalama, Kota Ternate. Tepung sagu yang dalam bahasa setempat disebut sagu tumang merupakan bahan untuk membuat popeda. (Project M/Irfan Mahardika)

Jam dinding masih menunjukan pukul 06.20 WIT saat Aminah Kader (52), warga kelurahan Goto, Kecamatan Tidore Pulau, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara bergegas menuju pasar. Dengan menumpang becak motor (bentor), Aminah tak butuh waktu lama untuk sampai di pasar yang terletak tak jauh dari kediamannya. Ia ingin segera membeli beberapa kebutuhan dapur seperti tepung sagu, sagu bakar dan beberapa aneka ikan kering. 

“Kalau ingin dapat tepung sagu yang putih dan bagus, harus pagi-pagi ke pasar. Kalau agak siang, biasanya torang hanya dapat yang sudah kotor,”kata Aminah, Selasa, 20 July 2021. 

Pagi itu Aminah ingin membeli tepung sagu untuk kebutuhan makan dua pekan ke depan. Biasanya tepung sagu ia jadikan olahan untuk aneka macam makanan seperti papeda. Sagu (Metroxylon Spp) bagi Aminah dan keluarganya menjadi salah satu sumber pangan yang masih dikonsumsi hingga saat ini. Hampir setiap hari di meja makannya tersedia makanan yang terbuat dari sagu. Selain sagu, ia juga menyediakan makanan alam seperti ubi, jagung, pisang, dan kasbi. Semua sumber panganan ini disajikan dengan olahan makanan dari ikan. 

“Kalau torang di sini bilang, makanan alam itu makanan kebong (kebun). Ini lebih sehat ketimbang makan nasi setiap hari,” kata Aminah. 

Sagu di Maluku Utara menjadi salah satu sumber pangan tradisional yang tak hanya dikonsumsi masyarakat Tidore tetapi juga dikonsumsi masyarakat pulau lain seperti Ternate, Bacan, Jailolo, Gebe, Patani, Morotai, Tobelo, dan Buli. Bagi masyarakat Maluku Utara sagu dinilai sebagai makanan yang kaya akan gizi tinggi sama seperti beras, jagung, ubi kayu, dan kentang.

Tepung sagu memiliki kandungan karbohidrat hingga 84,7 persen dan serat pangan antara 3,69 persen hingga 5,96 persen. Sagu mengandung pati resisten, polisakarida dan karbohidrat rantai pendek yang sangat berguna bagi kesehatan.

Fatma Hadar (64), salah satu pedagang panganan lokal asal Kelurahan Indonesiana, Kota Tidore Kepulauan mengatakan saban hari, tepung sagu selalu dicari masyarakat di Kota Tidore. Setiap berjualan, dagangannya seperti tepung sagu, sagu bakar, ubi, dan kasbi serta aneka ragam ikan kering selalu laris manis. Dalam sehari ia bisa menjual 40-50 cupa (1 cupa sama dengan 1 kaleng kental manis atau setara 350 gram) tepung sagu dengan pendapatan Rp200-300 ribu.

“Tapi untuk beberapa bulan terakhir ini sepi, hanya sedikit orang belanja. Biasanya kalau tidak musim Corona, saya tutup nanti jam 06.00 sore,” kata Fatma.

Sejak virus Covid-19 merebak dan Pemerintah melaksanakan kebijakan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), jam operasional Pasar Gosalaha di Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara ditutup pukul 17.00 sore. Semua pedagang sudah harus merapikan dagangannya sebelum batas tutup jam operasional pasar. Tak boleh ada lagi aktivitas berdagang setelah batas jam tersebut. Biasanya sebelum Covid-19 merebak aktivitas pasar ini hingga malam hari. 

Fatma mengaku, semenjak Covid-19 merebak, lapak jualannya selalu sepi pembeli. Hanya beberapa orang yang belanja setiap hari. Meski demikian bahan pangan seperti tepung sagu dan aneka sagu bakar masih banyak dicari dan diminati. Tak sedikit masyarakat di Tidore tetap membeli tepung sagu dan kasbi di tengah musim pandemi. Namun tak sedikit juga masyarakat Tidore yang membeli beras dengan jumlah besar untuk cadangan makanan selama pandemi. 

Padahal, dahulu masyarakat Tidore hanya makan nasi pada hari Jumat. Pada hari lainnya, mereka mengonsumsi sagu. Sejak program swasembada beras digalakkan pada masa pemerintahan orde baru, pola konsumsi masyarakat ikut berubah. Kini di Tidore, justru terjadi sebaliknya, beras menjadi makanan utama menggantikan sagu.

“Biar Corona seperti ini sagu tetap banyak orang yang cari. Tapi memang tidak kayak dulu tahun 90-an, Torang makan nasi nanti hari Jumat. Sagu selalu jadi makanan pokok. Sekarang banyak yang lebih memilih makan nasi,” ujar Fatma.

Sagu Tak Laku
Seorang perempuan membeli sagu bakar di Pasar Bahari Berkesan, Gamalama, Kota Ternate. Dalam keseharian, masyarakat menyebutnya sagu lempeng. (Project M/Irfan Mahardika)

Kebiasaan mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok di Maluku Utara pelan-pelan memang sudah mulai ditinggalkan, jauh sebelum pandemi. Masyarakat di Kota Tidore dan Maluku Utara, saat ini lebih banyak memilih mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok harian lantaran murah dan mudah didapat. Tingkat konsumsi beras penduduk di Kota Tidore dan Maluku Utara bahkan sudah mencapai 88 kilogram per orang per tahun. Sebelumnya di tahun 2000 konsumsi beras di Maluku Utara hanya mencapai 59 kilogram per orang per tahun.

Kuad Suwarno, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun, Ternate, mengatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergeseran pola konsumsi makanan pokok masyarakat Tidore dan Maluku Utara dari sagu ke nasi. Faktor tersebut berhubungan dengan persoalan ekonomi, sosial, dan budaya.

Saat ini masyarakat Maluku Utara tak terkecuali Tidore telah menempatkan nasi sebagai jenis pangan yang memiliki tingkat status sosial tinggi dan wajib dikonsumsi setiap hari. Masyarakat yang tidak mengkonsumsi nasi dianggap sebagai masyarakat miskin. Nasi telah menjadi sumber pangan masyarakat kelas menengah atas.

“Pandangan inilah yang membentuk persepsi pergeseran pola konsumsi pangan di Maluku Utara. Peranan sagu sebagai makanan pokok tak lagi terjadi,” ujar Kuad.

Selain itu faktor seperti ketersediaan pohon sagu di Maluku Utara menjadi salah satu penyebab yang mendorong perubahan pola konsumsi masyarakat Maluku Utara. Ketersediaan pohon sagu yang menurun setiap tahunnya akibat alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan lahan pertanian menyebabkan ketersediaan pasokan tepung sagu menurun. Masyarakat makin sulit mendapatkan tepung sagu dengan harga murah.

“Hasil penelitian yang saya lakukan dalam sepuluh tahun saja sudah 300 hektar lahan sagu yang hilang di Maluku Utara. Kita bisa bayangkan bagaimana produksi tepung sagu kita setiap tahunnya. Pasti terdampak,” ujar Kuad.

Laporan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2015-2017, total luas lahan sagu Maluku Utara, yang merupakan perkebunan rakyat, mencapai 3.645 hektar dengan tingkat produksi 1.403 ton per tahun. Luasan tersebut menurun dari sebelumnya mencapai 5.431 hektar dengan tingkat produksi mencapai 8.961 ton per tahun. Data Dinas Pertanian dan Perkebunan Maluku Utara, selama kurun waktu 2014-2017, luas lahan sagu yang hilang di Maluku Utara mencapai 821 hektar.

Di Kota Tidore Kepulauan sendiri luas lahan sagu menyisakan 179 hektar di tahun 2017 dari 241 hektar pada tahun 2014. Kapasitas produksi juga menurun dari 200 ton per tahun menjadi 150 ton per tahun dalam rentang tiga tahun tersebut. Padahal, potensi produktivitas sagu di Kota Tidore Kepulauan dapat mencapai 400 ton per tahun dan dinilai dapat menekan tingkat konsumsi beras masyarakat Tidore yang mencapai 70 ribu ton per tahun.

Menurut Kuad, penyebab lain terjadinya pergeseran pola konsumsi adalah faktor menurunnya minat masyarakat Maluku Utara untuk menjadi pekerja pengolah sagu. Pekerjaan pengolah sagu saat ini dianggap sebagai pekerjaan yang tidak menjanjikan dan cenderung sulit. Proses memanen sagu yang sulit dan membutuhkan waktu lama yang mendorong banyak orang memilih untuk menjadi buruh perusahaan dan tenaga serabutan.

“Anda bisa bayangkan, untuk memanen pohon sagu diperlukan waktu tujuh hari, dimulai dari menebang, memotong batang sagu, membersihkan batang sagu, mengupas batang sagu, memarut, dan menyaring pati sagu. Dan itu pekerjaan sulit. Makanya tak heran banyak yang tak menginginkan pekerjaan ini,” ungkap Kuad. 

Hasil penelitian Fakultas Pertanian Universitas Khairun, Ternate, pada tahun 2016, menemukan tenaga kerja pengelola sagu di Maluku Utara terbanyak berada pada usia 40-53 tahun sebesar 41,86 persen, diikuti dengan usia 54-67 tahun sebesar 36,5 persen. Sementara, pekerja usia mudah 26-39 tahun hanya 22,09 persen. Kondisi itu berbeda dengan pengelola atau pekerja sumber pangan lain seperti beras yang mencapai 16.584 rumah tangga atau sekitar enam kali lipat dari pengelola sagu di Maluku Utara.

“Banyak orang di Maluku Utara yang tak ingin lagi mau bekerja memproduksi tepung sagu, tentu akan membuat masyarakat memilih sumber pangan lain. Dan ini menjadi persoalan tentunya,” pinta Kuad.

Sagu Tak Laku
Sagu lempeng dibuat dari tepung sagu yang dibakar dalam cetakan batu atau tanah liat bernama forna dan dapat bertahan berbulan-bulan. (Project M/Irfan Mahardika)

Temuan lain disampaikan Yayasan Halmahera Hijau. Dari hasil penelitiannya, degradasi pola konsumsi masyarakat Maluku Utara dari sagu beralih ke beras sudah terjadi sejak era 90-an dan makin masif terjadi di tahun 2000 hingga saat ini. Implementasi kebijakan pemerintah yang terlihat yang lebih banyak fokus mendorong penguatan pangan beras untuk masyarakat menjadikan kebutuhan pangan lokal tak lagi dibutuhkan. Tak adanya larangan konversi lahan sagu menjadi wilayah pemukiman dan nonpertanian mendorong makin menyusutnya luasan lahan sagu di Maluku Utara.

Ismail Amirudin, Direktur Yayasan Halmahera Hijau mengatakan, salah satu cara melepaskan diri dari ketergantungan terhadap beras adalah dengan mendorong perluasan lahan sagu untuk meningkatkan produktivitas sagu, serta menguatkan dan memberdayakan tenaga pengolah sagu. Dalam kurun waktu lima tahun tahun terakhir luasan lahan sagu dan jumlah tenaga pengolah sagu diketahui makin menurun. Hingga saat ini tenaga pengolah sagu hanya berada di wilayah seperti Halmahera Barat, Halmahera Selatan, Kota Tidore dan Kepulauan Sula. Di beberapa wilayah seperti Halmahera Tengah dan timur tenaga pengolah sagu sudah beralih menjadi tenaga buruh tambang. 

“Karena itu, jika ingin melepaskan diri dari ketergantungan beras, Pemerintah harus bisa mengimplementasikan kebijakan yang lebih peduli pangan lokal. Jika tidak, sudah tentu masyarakat kita akan lebih tergantung dengan beras,” pinta Ismail.

 


Editor: Mawa Kresna

Tulisan ini adalah bagian dari serial reportase #MasyarakatAdat dan Ketahanan Pangan.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
8 menit