Nelayan Kecil di Muara Angke: Rakyat Paling Alot Se-Jakarta Mencari Sejahtera Bersama

The Guardian (UK)
Evi Mariani
22 menit
Salim (70) di depan rumahnya yang makin tenggelam di Blok Empang, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. "Rumah ini tadinya 2 tingkat, di bawah itu ada 12 kamar kontrakan. Sekarang habis, enggak ada duit lagi buat nguruk." (Project M/Dwianto Wibowo)

Nyempil di utara Jakarta, tinggallah ribuan orang yang paling dipinggirkan dari yang dipinggirkan: keluarga-keluarga nelayan kecil tradisional yang mengalami dan mewarisi ingatan penggusuran paksa dari generasi ke generasi, dari 1960-an hingga 2000-an. Kini, mereka berjuang bersama demi tidak kena banjir, air bersih, dan hak untuk hidup sejahtera di Jakarta.


SUATU sore di Muara Angke, 2023. Roda ekonomi berputar cergas. Beberapa wisatawan berbusana necis datang bergerombol. Semakin malam semakin ramai wisatawan. Apalagi kalau akhir pekan. Mereka datang untuk menuai pengalaman menyantap makanan laut yang segar.

Di Pelabuhan Perikanan Muara Angke, ada banyak jenis ikan, kerang, dan cumi yang bisa kita beli, untuk kemudian diolah sesuai selera di Resto Apung, tak jauh dari pasar. Kita dapat menyantapnya dari atas laut Jakarta sambil memperhatikan kapal-kapal bersandar di dermaga. Betapa romantisnya adegan ini.

Tapi, bukan itu cerita utamanya.

Hanya berjarak 600 meter dari Pelabuhan Perikanan Muara Angke ada wilayah hidup 1.973 kepala keluarga yang tersebar dalam empat kampung: Blok Eceng, Tembok Bolong, Kerang Ijo, dan Blok Empang. Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan dan sudah menetap di sana bertahun-tahun. Beberapa merupakan korban penggusuran dari berbagai wilayah, salah satunya Kali Adem dan Kampung Baru.

Keempat kampung tersebut kini berada dalam satu kawasan: RW 22, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Sebuah rumah sederhana di sana dijadikan kantor Sekretariat RW 22. Bangunan itu sengaja dibuat lebih tinggi 60 cm dari Jalan Dermaga Ujung di depannya supaya tidak tergenang banjir rob. Jalan Dermaga Ujung merupakan satu-satunya jalan yang terbuat dari beton di kawasan tersebut. 

Lanskap Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Secara administratif, RW 22 merupakan kawasan baru yang diresmikan pada 17 Agustus 2019. Itu bagian dari kontrak politik Pilkada DKI Jakarta 2017 antara Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Anies Baswedan. Kontrak politik ini juga melahirkan rencana penataan ulang sejumlah kampung kota, melalui Keputusan Gubernur 878/2018 dan 979/2022. Ketika itu Anies Baswedan berjanji tidak akan menggusur semua kampung tersebut. 

“Pembentukan RW ini usulan warga Blok Empang. Dulu kita termasuk warga liar karena identitasnya tidak menunjukkan wilayah ini. Kita punya KTP dan KK tapi masuknya di RW di luar wilayah kita,” ujar Ketua RW 22 Bani Sadar. 

“Akhirnya sekarang kita punya legalitas, ada RW, punya 12 RT. Warga nggak liar lagi. Ini proses yang panjang.”

Posisi kantor Sekretariat RW 22 tidak jauh dari Pelabuhan Penumpang Muara Angke yang baru direvitalisasi dan diresmikan Gubernur Anies Baswedan pada 3 Oktober 2022, atau beberapa hari sebelum ia lengser dari jabatannya. Pelabuhan ini diklaim akan bebas banjir rob selama 20 tahun. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meningkatkan dermaga setinggi 1,5 meter.

Sedangkan warga RW 22 masih terus berjuang menghadapi banjir rob yang terjadi hampir setiap hari setelah matahari terbenam, yang diperparah penurunan muka tanah dan krisis air bersih.

Pemerintah bekerja sama pemerintah daerah, BUMN/BUMD, dan swasta merencanakan pembangunan tanggul untuk mengatasi masalah banjir rob dan penurunan muka tanah di kawasan pesisir. Ini dikenal juga sebagai program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Program ini terbagi ke dalam tiga fase: A, B, dan C. NCICD merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Joko Widodo.

Rencana awal, NCICD akan berujung pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall. Tetapi, rencana tanggul laut ini belum mendapatkan kepastian, sementara manfaat dan mudarat tanggul laut ini masih diperdebatkan. 

Saat ini, NCICD masih dalam fase A, yakni membangun dan memperbaiki sejumlah tanggul pantai dan muara sungai di pesisir DKI Jakarta. Ini suatu tahap yang mulus karena banyak pihak setuju tanggul pantai ini mendesak.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) DKI Jakarta 2023-2026, merencanakan pembangunan tanggul pantai sepanjang 22 km. Jika mengacu peta grafik NCICD milik Dinas SDA DKI Jakarta, total panjang tanggul yang sudah terbangun sepanjang 8.043 meter, yang terbagi ke dalam beberapa klaster: Marunda, Muara Baru, Pantai Mutiara Daratan, Muara Angke, Pluit, dan Pantai Indah Kapuk.

Kawasan RW 22, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan berada dalam klaster Muara Angke, yang pembangunannya belum terealisasi karena mandek membahas analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Satu-satunya tanggul di Muara Angke yang sudah dibangun Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perhubungan ialah tanggul sepanjang 150 meter untuk Pelabuhan Penumpang Muara Angke.

Dinas SDA DKI Jakarta lebih dulu membangun tanggul dekat pemukiman elite Apartemen Riverside dan Perumahan Mediterania, dengan panjang tanggul 1.068 meter di klaster Pluit dan 570 meter di klaster Pantai Indah Kapuk.

Memang, wilayah nelayan Muara Angke di semua mata angin berbatasan dengan perumahan elite, kecuali di bagian utara, yang merupakan muara dan laut yang selama ini memberi hidup warga nelayan tersebut. 

“Terakhir [membahas bareng warga] pas masih pandemi. Waktu itu pembahasannya soal AMDAL. Saya agak lupa. Kayaknya masih proses saja sampai sekarang,” ujar Bani. 

Lanskap tanggul sungai di perumahan Mediterania, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Yusmada Faizal (kini sudah pensiun per 20 Juli 2023) mengatakan pembangunan tanggul klaster Muara Angke baru akan dilanjutkan tahun 2024 dengan panjang 185 meter, disusul tahun berikutnya dengan panjang 429 meter. Rencana ini telah tertulis dalam Rencana Strategis Dinas SDA DKI Jakarta 2023-2026.

Pada dasarnya, warga RW 22 tidak keberatan dengan rencana pembangunan tanggul. Namun, mereka menolak apabila pembangunan NCICD malah akan menggusur permukiman, khususnya permukiman nelayan yang tinggal di pinggiran Kali Adem.

Kekhawatiran itu muncul usai Yusmada Faizal menyatakan pembangunan tanggul pantai mensyaratkan “memindahkan permukiman di pinggir kali di Muara Angke, di Cilincing, dan di Cakung”.

“Jangan sampai banjir bisa teratasi tapi permukimannya enggak ada. Jangan sampai penyusunan AMDAL ini jadi tidak jelas. Apakah rumah warga masih ada atau tidak?” ujar Bani Sadar.

Sejarah Muara Angke: Benteng Terakhir Nelayan Kecil Jakarta

Penggusuran paksa adalah sesuatu yang diakrabi sekaligus ditakuti warga RW 22, yang punya sejarah kolektif dan antargenerasi tentang penggusuran dari berbagai tempat sejak 1970-an. Nelayan-nelayan kecil di Muara Angke, yang datang dari berbagai wilayah Jakarta dan luar Jakarta, adalah mereka yang cinta laut, hidup dari laut dan muara. Maka, apapun dilakukan asal bisa tinggal dekat laut. 

Mulai dari penggusuran Ancol di akhir 1960-an, lalu mereka pergi ke barat ke Muara Karang. Tahun 1977, ada dua momen besar yang menandai kepindahan mereka jauh lebih ke barat ke Muara Angke: Pembangunan pembangkit listrik di Muara Karang yang berujung ke penggusuran, dan peresmian Muara Angke sebagai pusat perikanan tradisional Jakarta. 

Muara Angke lebih luas dari RW 22. Di peta bikinan satelit, Muara Angke berbentuk seperti U, seperti pulau sendiri. Presiden Soeharto dulu menjadikan wilayah ini sebagai kampung nelayan, lengkap dengan pelelangan ikan pada 1977. Ada nelayan juragan yang mampu berlayar jauh di Muara Angke, tapi banyak juga nelayan dengan sampan bermesin kecil mengandalkan Teluk Jakarta saja. 

Sampai sekarang ia menjadi pusat perikanan Jakarta dengan nilai produksi dan perdagangan mencapai lebih dari Rp4,2 triliun pada 2021. Angka ini cukup besar meski tidak bisa dibilang ikan lautnya “produksi DKI Jakarta” karena kapal-kapal besar melelang tangkapan dari jauh, bukan dari Teluk Jakarta.

Nelayan-nelayan kecil di RW 22 hanya mendapatkan remah-remah dari sisa perdagangan ikan-ikan laut ini, meski banyak warga mengakui remahnya tidak sedikit. Itu sebabnya meski susah, mereka enggan pindah karena membayangkan di tempat lain pasti lebih susah. 

Nelayan mengumpulkan hasil tangkap 1 ton ikan sarden di dermaga Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. Sarden ini didapat dari kedalaman 200 meter di perairan Cilincing, kata seorang nelayan. Dengan hasil panen seperti ini satu orang nelayan biasanya mendapatkan 500 ribu rupiah. (Project M/Dwianto Wibowo)

RW 22 termasuk wilayah yang dipinggirkan dari yang dipinggirkan. Sebelum penggusuran di tahun 1995, sebagian wilayah RW 22 masih merupakan empang-empang muara dan laut.

Almarhum Abah Arpani, yang moyangnya dari Selikur, Serang di Banten, merupakan satu-satunya penduduk yang nekat membuat rumah di empang-empang tersebut pada 1970-an. Selama 33 tahun, keluarga Abah Arpani sendirian di keluasan empang-empang; bahkan ia sering sendiri karena istri dan enam anaknya sering ke kampung di Banten. 

Melihat buaya sudah biasa; toh buaya merupakan “kawan”, kata Abah. Abah bercerita mulai 1995 ada penggusuran di Kapuk, lalu ia mengamati korbannya masuk wilayah yang sekarang dikenal sebagai Blok Eceng.

Pada 2003, ada penggusuran “besar-besaran” nelayan-nelayan kecil di Kali Adem dan Kali Asin di sebelah selatan empang. Tak tahu mesti ke mana, sementara rumah susun tidak menjadi pilihan karena jauh dari laut, korban gusuran melakukan “serangan” ke empang yang selama ini dikuasai Abah. Abah menyebutnya “serangan” karena saat itu bandeng Abah sebanyak 4 ton tandas. Orang “Balai Kota” sempat bicara kepada Abah Arpani bahwa warga gusuran ke empang sementara menunggu rusun jadi. Tapi, banyak yang tidak mau ke rusun, sehingga mereka menetap di Blok Empang.

Menguruk empang-empang tidak gampang. Warga pernah merelakan tempat tinggalnya jadi tempat buang limbah pabrik minyak goreng merek terkenal yang lokasinya di Jakarta Utara untuk menguruk. Bentuk limbahnya adalah abu hitam. “Ribuan truk” dalam kurun waktu 5 tahun (2005-2010), kata Abah Arpani. Semua anak kecil di dekat situ setiap hari cemong-cemong mukanya setiap kali main ke luar rumah. 

“Laut Indah Amat” Tak Ada Lagi

Waktu Abah Arpani tiba di Muara Angke pada 1970-an, ia masih ingat kesannya. “Laut indah amat,” katanya. Ada “pohon api-api berbaris-baris” dan banyak ikan mujair, belanak, udang. Mayat manusia pun sering ditemui, tapi ini tidak menyurutkan niat Abah mengais “rezeki dari laut.” 

Sejalan dengan waktu, sampah dari selatan mulai parkir di muara. Arti Astati, atau Tati, seorang warga Kerang Ijo, mengingat sejak kecil, awal 2000-an, laut yang dikenalnya bukan laut seperti yang Arpani lihat, melainkan tumpukan sampah. Tetapi, menjauh ke laut, ke Teluk Jakarta, hasil ikan masih banyak.

Ratono, warga Kerang Ijo, menjadi saksi bagaimana Teluk Jakarta semakin kotor, terutama ketika pembangunan pulau-pulau reklamasi terjadi.

“Dulu mancing segar, ada ikan sembilang, kuro, udang hidup. Ikan cekong yang buat sarden,” katanya. “Tahun 1990-an masih banyak ikan, ikan keropak kita enggak mau ambil dulu. Keropak, pirik, dulu mah disia-sia.”

“Nelayan tradisional kelihatan ruwet, kotor, tapi lihat usahanya,” kata Ratono. “Kita pengin ada lebihnya buat keturunan kita, sekolah ambil dari laut,” ujarnya.

Reklamasi semakin menyulitkan nelayan seperti Ratono untuk mencari ikan. “Mau musnahin nelayan tradisional? Enggak bisa? Terus yang dimusnahin ikan segernya,” keluh Ratono. 

Empat kampung RW 22 yang menyempil di ujung utara Jakarta, dekat kawasan Pelabuhan Perikanan Muara Angke. (Project M/Arief Zulfikar)

Menguruk Laut dan Muara Bagai Sisifus

Warga RW 22 tidak pernah berhenti menguruk karena daratan yang mereka tinggali ambles. Banjir rob saban malam sudah jadi hal biasa.

“Jam segini juga udah mulai [rob], masuknya bertahap,” ujar Leman, koordinator keamanan RW 22, menjelaskan jadwal air rob yang biasa terjadi sejak sore hari dan memuncak pada tengah malam. “Malam air keluar. Tinggi air tiap wilayah beda. Ada yang sepaha, ada yang bisa bikin motor terendam. Surutnya jam 12 malam.”

Dulu warga menguruk empang dan laut untuk tinggal, sekarang tempat tinggal mereka harus terus ditinggikan, termasuk pakai puing-puing. Tetapi, tidak semua warga mampu menguruk jalan rumah mereka dengan puing. Sebab, biayanya mahal. 

Warga melintasi jendela rumah yang dibiarkan tenggelam di blok Empang, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Danisem, warga Kampung Kerang Ijo, menghabiskan uang sekitar Rp200 ribu untuk satu bak mobil pick up berisi puing. Puing-puing itu ia beli dari warga yang bekerja sebagai tukang bangunan dan sedang mencari tambahan penghasilan. Biasanya, puing-puing berasal dari bongkaran rumah atau ruko di sekitaran Pluit.  

Satu bak mobil hanya menghasilkan kurang dari 20 karung urukan, sementara kebutuhan Danisem untuk membuat tanggul buatan lebih dari itu. Belum lagi ia mesti keluar uang untuk menyuguhkan kopi dan kue bagi penjual puing. Sekali saja Danisem melakukannya, ia mengaku tak sanggup lagi. Selanjutnya pasrah.

“Orang yang banyak duitnya, ya nguruk. Saya mah kadang dibiarin aja [kena rob]. Kadang saya uruk pake kulit kerang, tinggal dikarungin, ditumpuk,” ujar perempuan yang sudah 20 tahun lebih menetap di kampung ini.

“[Kulit kerang] bisa tahan beberapa tahun sebelum jadi abu,” Leman menambahkan.

“Rumah-rumah ini juga dulunya kulit kerang di bawahnya. Dicampur puing satu-dua mobil,” imbuh Danisem.

Kampung Kerang Ijo berada di ujung barat RW 22. Berlokasi di pinggir aliran Kali Adem mengarah ke laut. Para pria di sini kebanyakan bekerja sebagai nelayan pencari kerang, sedangkan perempuan bekerja mengupas kulitnya. Bertahun-tahun mereka menambah level muka tanah dengan limbah kulit kerang. Selama itu pula level muka tanah mereka selalu mengalami penurunan.

Saya memeriksa elevasi Kampung Kerang Ijo menggunakan Google Earth Pro. Rerata ketinggian muka tanah di sana 0-3 m di atas permukaan laut. Semakin menjorok ke arah laut, semakin rendah pula muka tanahnya. 

Ibu Sayani (45) seorang buruh kupas kerang dipotret di samping rumah pengolahan kerang hijau di Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. Pekerjaan mengupas kerang hijau menjadi mata pencaharian sebagian besar perempuan di kampung ini. (Project M/Dwianto Wibowo)

Rohana bermukim di wilayah dengan elevasi 1 m di atas permukaan laut. Ketinggian air rob bisa mencapai 70 cm atau cukup untuk menenggelamkan galon air. Kerap merusak bagian rumah Rohana dari tripleks dan bambu.

“Sekarang rob makin parah, makin tinggi. Makanya rumah ditinggin. Tiap hari saya nguruk pake kulit kerang, tetap aja air masuk. Cepet jeblos juga. Sampe capek,” keluh Rohana.

Terkadang air rob muncul dari dalam tanah seperti pancuran. Ubin rumah milik Yanti patah karena pergeseran muka tanah. Air menyembur dari celah-celah patahan. “Sebelum pecah, air keluarnya dari sela-sela bambu,” kata Yanti.

Yanti mempersilakan saya masuk ke rumahnya. Hanya ada satu ruangan yang jadi pusat segala aktivitasnya bersama keluarga. Ukurannya hanya 3×2 m². Dibangun dari tripleks dan bambu. Beberapa barang dibiarkan menggantung di plafon, sebab menaik-turunkan barang sangat melelahkan. Bebannya sebagai ibu muda dengan dua anak yang masih balita dan bayi sudah terlalu banyak pula. Ia mesti mengurus keluarga kecil; anak bontotnya mengidap penyakit paru-paru dan mesti bolak-balik ke rumah sakit. Sementara ia juga harus mengurus rumah yang setiap hari diterjang rob.

“Gara-gara banjir terus, aku enggak bisa beresin. Banjir mulu jadi males. Kadang sih kalau banjir, aku pindah ke rumah Omah di Priok, lebih mendingan,” ujar Yanti sambil menggendong si bontot. 

Lantaran realisasi program NCICD belum menemukan kejelasan, warga RW 22 bergotong-royong mengatasi banjir rob dengan meninggikan jalan secara serempak. Masing-masing kepala keluarga urunan membeli puing dan kebutuhan operasional. Mereka mengerjakan secara mandiri di tiap RT. Cara ini sekaligus menghindari ketimpangan antara warga yang mampu menguruk dan warga yang tak punya uang untuk membeli puing.

“Makanya kita bikin replika NCICD, walaupun kita menyebutnya replika, ini cuma peninggian jalan aja sebenarnya. Yang kita lakukan swadaya atas instruksi RW. Enggak pakai pemerintah. Kita juga enggak izin ke kelurahan,” ujar Bani Sadar.

Upaya kolektif “Replika NCICD” ini menjadi penanggulangan banjir rob sementara. Rohana merasakan dampak banjir rob tak terlalu parah ketika itu. Namun, tanpa mereka sadari, jalan urukan anjlok perlahan dan kondisinya berangsur-angsur seperti sediakala. Pada akhirnya “Replika NCICD” bertahan selama delapan bulan saja.

Melalui perembukan, warga memutuskan untuk tidak menguruk jalan lagi. Selain ternyata tidak efektif, pengurukan terus-menerus membuat rumah mereka lebih rendah dari jalanan. Sebagai gantinya, warga datang dengan gagasan lain.

“Teori sirkulasi drainase, yang harus dibikin dari RT 5 dan seterusnya, nyambung ke polder,” ujar Bani.

Yovie Hasirama, Ketua Karang Taruna RW 22, menambahkan, “Bagaimana caranya dengan debit air yang ada di sini bisa tersalurkan dan terselesaikan? Kontrolnya pakai pintu air kecil. Misalnya, air di tengah sudah mulai banyak, ditutup, biar air jalan dulu. Tapi, masalah kami ada di biaya, banyak butuhnya. Sumber uang dari mana? Ini enggak ketemu.”

Mereka sudah mencoba agar rencana itu menjadi usulan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang). Namun, belum ada respons dari para birokrat. 

Ratnawati (25) dan Sulaiman (23) di depan rumah mereka di blok Empang, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. Satu minggu lagi Ratna akan melahirkan anak pertama mereka, Sulaiman menyiapkan papan multiplek untuk membuat amben setinggi 60 cm supaya mereka dapat istirahat meskipun ada banjir rob. (Project M/Dwianto Wibowo)

Sekarang warga hanya bisa melakukan semampu yang mereka bisa lakukan. Setiap rob datang, mereka sibuk membersihkan saluran drainase dari tumpukan lumpur dan sampah, meninggikan rumah sesuai kemampuan kantong pribadi (pakai puing atau limbah kulit kerang), menggantung barang-barang di ketinggian, mengungsi ke rumah kerabat, atau berdoa untuk kehidupan lebih baik.

“RW kita ini baru, perlu dibina luar biasa. Belum tersentuh. Tapi birokrasi di atas beda dari yang kami bayangkan,” kata Syaiful Arifin, mantan Ketua RW 22 sebelum Bani. “Selagi saya jadi RW, tiga tahun ini belum ada realisasinya. Saya cuma minta, ‘Ayo kita duduk bareng dulu.’”

“Apakah kita kurang beruntung atau disepelekan?” Yovie menimpali.

Bani menambahkan, “RW 22 ini tergolong wilayah yang kumuh. Kumuh sama dengan pembenahan. Yang saya takutkan pemerintah mikirnya lain, kumuh sama dengan gusur.” 

Bertaruh pada Air

Ada kecemasan dalam benak Sri dan suaminya Mukarman sore itu, yang mereka sembunyikan rapat di balik tawa. Nongkrong bareng tetangga menjadi pelipur lara setelah seharian berkegiatan. Sri merupakan ibu rumah tangga, sedangkan Mukarman adalah nelayan ikan. Mereka bermukim di Kampung Blok Eceng.

“Hari ini saya belum beli air. Bapak enggak dapet ikan, anak juga enggak dapet. Rp10 ribu juga enggak dapat. Kalau aja enggak ada beras sisa kemarin, enggak masak kita,” ujar Sri.

Seharian Mukarman hanya dapat lima keong macan yang ditinggal di perahunya. Padahal ia sudah melaut jauh ke arah timur di Tanjung Priok dan terkadang sampai ke barat di Banten; imbas dari pembangunan pulau reklamasi Pulau C dan D. (Kedua pulau buatan ini sekarang dikenal River Walk Island dan Golf Island PIK, dikembangkan gergasi properti Agung Sedayu Group.) Sekarang ia juga harus berurusan dengan limbah yang membuat ikan-ikan mati. Kata Mukarman, limbah tersebut berwarna seperti karat. 

“Pas ada pembangunan [pulau reklamasi], apa-apa aja jadi enggak ada. Kalau enggak ada limbah, buat makan sehari mah dapat. Semua nelayan di sini mengeluh semua,” ujar Mukarman. 

Kualitas air tanah di rumah Sri dan Mukarman buruk dan kerap mendatangkan penyakit. Kalau tidak darurat sekali, jarang mereka pakai. Sehingga mereka terpaksa membeli air bersih dari berbagai sumber guna mencukupi kebutuhan delapan anggota keluarga.

“Air tanahnya kuning, licin, asin kayak air laut. Namanya butuh mandi, cebok, ya dipake aja. Gatel-gatel, dah. Di mata juga perih. Sampe sabun habis juga enggak ada busanya,” ujar Sri.

Untuk memasak dan konsumsi, mereka membeli air galon isi ulang seharga Rp5 ribu/galon, dalam sehari mereka membutuhkan 2 galon. Untuk mencuci dan mandi, mereka membeli dari Kios Air PAM Jaya seharga Rp1.000/jeriken atau Rp5 ribu/gerobak; dalam sehari minimal mereka menghabiskan empat gerobak. Jika dihitung per bulan, mereka harus menyiapkan uang Rp900 ribu untuk air bersih. 

Govinda (23) mengambil air dari kios air PAM Jaya di Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. Air bersih menjadi kebutuhan harian yang tidak murah bagi warga Muara Angke, sebelumnya tiap keluarga harus merogoh kocek 1.000 rupiah per jeriken. Kios Air membantu mengurangi beban warga dengan menjual 1 jeriken air seharga 400 rupiah jika diambil sendiri. (Project M/Dwianto Wibowo)

Mereka juga melakukan penghematan biaya dengan berlangganan air tanah dari salah satu mesin bor milik tetangga. Setiap bulan mereka membayar Rp150 ribu, dengan kualitas yang menurut mereka agak mendingan: tidak berbau dan berasa. Namun, kebutuhannya dibatasi untuk beberapa hal saja.

“Kita pake aja buat cebok anak-anak. Buat siram-siram kencing,” kata Sri. 

Ada juga warga yang memanfaatkan air dari sumur resapan. Seperti Rohana dan Yanti misalnya, mereka memiliki sumur resapan di depan rumahnya, yang bersumber dari air laut. Meski begitu, mereka mengaku air tidak berbau, tidak asin, dan tidak menyebabkan gatal-gatal di tubuh. Namun, mereka tetap tidak berani menggunakannya untuk memasak dan memandikan anak-anak. Sehingga mereka harus membeli air galon isi ulang untuk itu.

“Bayiku kalau mandi pake air galon isi ulang, Rp6 ribuan,” kata Yanti.

Satu sumur biasanya dimanfaatkan lebih dari tiga rumah, kadang tidak mencukupi kebutuhan mereka. Terkadang juga mengalami kekeringan. Jika begitu, mereka membeli air dari PAM Jaya. Lantaran posisi mereka jauh dari Kios Air dan mesti masuk ke dalam gang sempit, harga air bisa lebih mahal dari yang dibeli Sri dan Mukarman.

“Dijualnya pakai mobil. Satu gerobak sekitar Rp20 ribuan, satu jerikennya goceng. Nanti kita dorong sendiri dari depan gang,” kata Rohana. 

Sumur di tengah jalan permukiman blok Empang, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. Sumur air tanah semakin rawan tercemar air asin karena banjir rob seiring dengan makin turunnya permukaan tanah. (Project M/Dwianto Wibowo)

Pengeluaran belanja air bersih mereka tak menentu setiap bulan, antara Rp200 ribu-Rp500 ribu. Kondisi ini menjadi sulit bagi mereka yang hanya bekerja sebagai pengupas kulit kerang. Jumlah kerang sedang berkurang akibat limbah di laut Jakarta.

Untuk satu ember kulit kerang, mereka dibayar Rp30 ribu. Kalau lagi mujur, mereka bisa mengupas sampai 15 ember seharian. Sekarang untung-untungan dan terkadang hanya dapat setengah ember.

“Setengah blok (ember) Rp15 ribu. Buat jajan anak saja kurang,” ujar Rohana.

Permasalahan warga RW 22 banyak bersinggungan dengan air. Mereka mudah kebanjiran, laut mereka tercemar, mereka juga mengalami krisis air bersih menahun. 

Pada Februari 2022, Bani Sadar yang saat itu masih menjadi Ketua RT 9, memimpin demonstrasi warga ke Balai Kota DKI Jakarta. Menuntut Pemprov menyediakan pipanisasi air bersih di tiap-tiap rumah. Mereka mendatangi kantor gubernur dengan membawa jeriken kosong sebagai simbol permasalah krisis air bersih.

“Lurahnya kebakaran jenggot nyariin mana nih RT, eh taunya saya yang mimpin demo,” kata Bani, tertawa.

“Waktu demo kita ditemuin Pak Afan [Afan Adriansyah Idris, Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Sekda Provinsi DKI Jakarta]. Kita rapat dengan PAM Jaya, dibikin tuh anggarannya. Di Jakarta, ada 109 kios air, termasuk di RW 22 ada 30 tandon, cuma yang terealisasi baru lima tandon. Sekarang warga teriak lagi karena kurang air,” ujar Syaiful. 

Ketua RW 22 Muara Angke, Bani Sadar. (Project M/Dwianto Wibowo)

Menguatkan Diri dengan Koperasi

Meskipun RT dan RW sudah terbentuk, Bani Sadar mengakui lembaganya memiliki kelemahan utama, yakni jalur birokrasi yang hierarkis. Ini bakal menghambat pemenuhan hak paling fundamental bagi warga: tempat tinggal. Sebab, RT dan RW tidak kuat secara politik.

“RT dan RW enggak percaya dengan instansi sendiri. Karena instansinya, ujung-ujungnya malah jadi cuma mengikuti aturan pemerintah daerah,” kata Bani. 

“Misalnya, dari atas kita diperintah, ‘Ini kumuh dan harus digusur.’ Kalau udah gitu, kita enggak bisa ngomong apa-apa lagi. Karena itu aturan pemda sampe kelurahan dan senjata pamungkasnya RT-RW. Makanya, kita bikin koperasi.” 

Pembentukan koperasi di tiap kampung kota merupakan bagian dari program pemberdayaan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan jaringan, untuk menjamin hak-hak dasar warga terpenuhi. Setiap koperasi menaungi beberapa RT untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Kawasan; sebagai legalitas warga yang telah puluhan tahun hidup di sebuah wilayah. Pada 2021, Anies mengeluarkan 68 IMB Kawasan, termasuk untuk kawasan RW 22.

“Koperasi yang mengurus lahan. Soalnya lahan kita kumuh. Takutnya jadi incaran [penggusuran]. Maka, kita bikin koperasi dan IMB Kawasan. Sekarang udah enggak liar. Kawasan ini diketahui pemda dan diizinkan membangun di kawasan ini,” ujar Bani.

“Ternyata hubungan koperasi dan pemerintah lebih harmonis ketimbang RT-RW. RT-RW mesti surat-menyurat dulu ke atas, sampe mulut berbusa-busa juga enggak jadi apa-apa, mentok palingan berkas cuma masuk laci. Kalau koperasi langsung bersurat ke gubernur,” Syaiful menambahkan.

Setiap kampung di RW 22 memiliki koperasi dan hampir semua RT sudah memiliki IMB Kawasan, terkecuali RT 12 di Kampung Blok Eceng yang masih dalam proses. 

Puluhan karung kulit kerang ditumpuk di bawah rumah di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. Masyarakat pesisir Jakarta memanfaatkan kulit kerang sebagai materi alternatif untuk menguruk permukaan tanah tinggal mereka yang setiap tahun mengalami penurunan. (Project M/Dwianto Wibowo)

Bagi warga RW 22, memiliki rumah seperti menggenggam bara dalam tangan. Tidak mudah memilikinya. Tidak juga mudah mempertahankannya. 

Penggusuran adalah momok bagi mereka, yang kerap melekat di pikiran menjadi trauma mendalam. Di tengah ketimpangan relasi kuasa antara mereka dengan penguasa politik dan ekonomi, solidaritas menjadi keniscayaan untuk bertahan. Meski, belum tentu perjuangan bakal berbuah kemenangan.

Pembentukan koperasi dan penerbitan IMB Kawasan memperjelas posisi dan status warga. Apalagi kebanyakan warga RW 22 memiliki pengalaman penggusuran. Seperti halnya Dewi Asfani yang terpaksa bergeser tinggal ke Tembok Bolong setelah rumahnya di Kampung Baru digusur untuk pembangunan Pelabuhan Perikanan Muara Angke saat era Gubernur Joko Widodo. 

Ingatan Asfani masih merekam jelas bagaimana alat berat menghancurkan satu per satu rumah warga, lalu mengubah permukiman menjadi bagian dari Pelabuhan Perikanan Muara Angke, sehingga kini terpaksa bermukim di Tembok Bolong.

“Suami saya nelayan ikan, makanya kami pindah ke sini karena dekat sama pekerjaan suami. Biar enggak makan ongkos,” kata Asfani.

Setelah menetap di Tembok Bolong, Asfani masih dihantui rencana pengembangan pelabuhan. Ia sempat memimpin protes warga ketika Pemprov DKI Jakarta akan mendirikan tembok tinggi dan mengurung warga. Aksi itu hanya berhasil sementara menghentikan pembangunan. Sekarang tembok tinggi itu sudah berdiri di sana.

“Kita ngadu ke jaringan JRMK, UPC [Urban Poor Consortium], dan Rujak (Center for Urban Studies). Ada program pembuatan IMB, kita masuk. Biar kita kuat kalau Dishub datang lagi,” katanya. 

Saat ini warga Tembok Bolong sudah mendapatkan IMB Kawasan meski warga belum menerima petikan.

Nelayan kerang hijau membongkar muatan di Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Pengalaman sebagai korban penggusuran membuat Asfani sadar pentingnya pemberdayaan diri. Ia berusaha proaktif dalam forum warga, JRMK, dan turut serta menjadi pengurus Koperasi Tembok Bolong. Ia ingin lebih berdaya di hadapan penguasa politik dan ekonomi. Semua itu bergerak secara simultan dengan kegiatannya mengurus suami dan tujuh anak.

“Kesadaran ini datang dari hati saya melihat bangunan rumah saya di Kampung Baru digusur, menyaksikan rumah dirobohin beko. Saya sedih banget. Kalau bukan kita yang berjuang, siapa lagi,” ujarnya.

Pada Hari Raya Idul Fitri 2023, Asfani dan warga Tembok Bolong lainnya kehilangan rumah. Api menghanguskan ratusan rumah yang dominan terbuat dari tripleks dan papan GRC. Memaksa Asfani dan keluarga harus pindah ke rumah kontrakan dengan sewa Rp1 juta/bulan.

“Harusnya Rp1,2 juta tapi yang punya kontrakan kasihan sama saya. Penghasilan nelayan enggak tentu. Ngontrak itu berat. Cuman, kalau mau bangun rumah butuh uang gede. Tahun 2014 aja, saya bikin rumah habis Rp15 juta. Sekarang kira-kira bisa Rp30 jutaan,” katanya. “Boro-boro buat rumah, makan aja pas-pasan.” 

Sejumlah warga mengupas kerang di salah satu tempat pengolahan kerang di Kampung Kerang Ijo, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 Oktober 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Saat ini warga RW 22 bersama JRMK, UPC, dan Rujak masih mengupayakan realisasi lahan untuk penataan permukiman mereka menjadi lebih layak: pembangunan kampung susun, konversi tanah untuk rumah tapak, dan redistribusi ruang. 

Semua desain penataan berdasarkan hasil musyawarah warga. Namun, pasca Anies Baswedan tidak lagi menjabat gubernur, mereka mulai mengkhawatirkan keberlangsungan hidup di sana.

“Keempat kampung ini akan bergeser ke tanah yang kami konsolidasikan. Tapi sampai sekarang belum ada perubahan, SK-nya saja belum ditandatangani. Kami khawatir kalau konsolidasi ini belum ditandatangani gubernur, khawatir dengan tempat tinggal kita sekarang,” ujar Asfani. *

Warga mengemas ikan kering di blok Tembok Bolong, Muara Angke, Jakarta Utara, 6 OKtober 2023. (Project M/Dwianto Wibowo)

Catatan: Bagian sejarah dari kisah ini ditulis Evi Mariani berdasarkan wawancaranya dengan Abah Arpani, Arti Astati, dan Ratono, yang dilakukan pada 2018, bagian dari penulisan sejarah kampung Kota Jakarta yang dilakukan komunitas relawan Kampung Kota Merekam. Informasi tentang penggusuran paksa antargenerasi diambil dari liputan Evi untuk The Jakarta Post saat penggusuran Kali Adem pada 2003.

Terima kasih sudah membaca laporan dari Project Multatuli. Jika kamu senang membaca laporan kami, jadilah Kawan M untuk mendukung kerja jurnalisme publik agar tetap bisa telaten dan independen. Menjadi Kawan M juga memungkinkan kamu untuk mengetahui proses kerja tim Project Multatuli dan bahkan memberikan ide dan masukan tentang laporan kami. Klik di sini untuk Jadi Kawan M!

Liputan Terkait
The Guardian (UK)
Evi Mariani
22 menit